Balitbang Kemenag

Nilai Moderasi Beragama dalam Serat Carub Kandha

Kamis, 24 Juni 2021 | 00:00 WIB

Nilai Moderasi Beragama dalam Serat Carub Kandha

Potongan serat Carub Kandha. (Foto: dok istimewa)

Moderasi beragama adalah sebuah alternatif cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dalam pelaksanaannya, moderasi beragama selalu diarahkan ke jalur yang moderat. Moderat di sini dimaknai sebagai tindakan pengamalan ajaran agama yang tidak berlebih-lebihan atau ekstrem. Hal ini bertujuan, agar nilai murni agama yang menekankan aspek perdamaian dan tidak tekstualis dapat terus terjaga, mengingat keadaan masyarakat bangsa kita yang multikultural.


Guna menguatkan peran moderasi beragama di Indonesia, diperlukan langkah-langkah konkret; baik melalui penguatan infrastruktur, sumber daya manusianya, sampai dasar filosofisnya. Seluruhnya dilakukan agar makna moderasi beragama dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan searah dengan visi bangsa ini. Salah satunya adalah melakukan eksplorasi nilai dan makna tersebut melalui peninggalan kesejarahan.


Serat Carub Kandha merupakan satu di antara hasil peninggalan kesejarahan itu. Hasil peninggalan kesejarahan berupa manuskrip ini berasal dari wilayah pesisir Utara Jawa Barat. Menariknya, isi manuskrip rupanya telah menuliskan banyak praktik-praktik moderasi beragama sejak dahulu. Masyarakat kita, dalam naskah tersebut, telah banyak melakukan praktik saling menghormati antar pemeluk keyakinan yang berbeda, juga perihal menghargai budaya lokal, serta menyuratkan praktik anti kekerasan berabad-abad lamanya.


Fakta di atas diteliti oleh Agus Iswanto, Nurhata, dan Asep Saefullah dari Balitbang Kementerian Agama RI pada tahun 2020. Melalui judul penelitian Perlunya Kreativitas Alih Wahana Sumber-sumber Tertulis Bersejarah untuk Pengarusutamaan Moderasi Beragama, ditemukan poin-poin penting moderasi beragama yang bisa dielaborasi lebih dalam. Hasil elaborasi ini bisa dijadikan modal kebijakan bagi proses pengarusutamaan moderasi beragama di lintas sektor pemerintahan, khususnya dalam instansi Kementerian Agama sebagai pemarakrasa.


Penelitian yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ini menemukan titik tekan pentingnya penelitian akan nilai-nilai luhur masyarakat terdahulu melalui peninggalan kesejarahan. Sebab, peninggalan kesejarahan bangsa ini begitu melimpah hanya saja belum digali dan dikemas dengan baik. Sehingga, hasilnya masih dinikmati oleh internal peneliti sendiri dan belum menyentuh generasi yang lebih luas. Semisal generasi Z dan Y yang terus bertumbuh kini.


Dengan mengambil sampel Serat Carub Kandha, penelitian ini bertujuan menjadi medium yang memungkinkan terjangkaunya pengetahuan isi manuskrip yang lebih luas. Dari sekian teks yang ada dalam naskah beraksara Pegon dan menggunakan bahasa Jawa Cirebon ini, banyak ditemukan nilai-nilai toleransi dan magersari (turut bersama) dalam membangun suatu daerah atau negeri. Fenomena ini sudah lama dipraktikkan sebagaimana isi manuskrip ini yang banyak melibatkan masyarakat kita sejak abad 15.


Secara mendetail, narasi moderasi beragam dalam manuskrip ini lebih tersirat dalam delapan pupuh. Pupuh-pupuh yang menarasikan mdoerasi beragama adalah; pupuh pangkur cabang empat, pupuh mijil cabang keempat, pupuh megatruh cabang keempat, pupuh ladrang cabang kedelapan, pupuh perlambang cabang kesepuluh, pupuh sumengker cabang kesebelas, pupuh dandanggula cabang kedua belas, pupuh sinom cabang ketiga belas. Setiap pupuh menarasikan minimal satu nilai moderasi beragama yang dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan masa kini.


Penelitian ini juga menyimpulkan, bahwa delapan pupuh di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek. Tiga aspek dipilih sebab sejalan dengan kerangka teori tentang indikator moderasi beragama; yakni sikap menghargai agama lain, akomodatif terhadap kebudayaan lokal, dan anti terhadap kekerasan. Bisa kita ambil contoh dengan mengambil satu pupuh.


Dalam pupuh mijil cabang keempat dan pupuh sumengker cabang kesebelas, terdapat nilai-nilai sikap saling menghargai agama lain. Pada pupuh megatruh cabang keempat, pupuh Ladrang cabang kedelapan, dan pupuh Dandanggula berisi makna akomodatif terhadap budaya lokal. Serta terkait anti terhadap kekerasan bisa ditemukan pada pupuh pangkur cabang keempat, pupuh mijil cabang keempat, dan pupuh Perlambang cabang kesepuluh. Seluruhnya sejalan dengan tema besar moderasi beragama sebagai cara pandang yang bisa diaplikasikan pada setiap warna Negara Indonesia yang beragama.


Penulis: Sufyan Syafii
Editor: Kendi Setiawan