Fragmen

Gus Dur dan Makam KH Abdul Halim Leuwimunding

Senin, 30 September 2019 | 12:00 WIB

Gus Dur dan Makam KH Abdul Halim Leuwimunding

KH Abdul Halim Leuwimunding. (Foto: Yayasan Sabilul Chalim Leuwimunding)

KH Abdul Halim Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat awalnya kurang dikenal. Karena menurut keterangan pihak keluarga, KH Abdul Halim memang tidak ingin terkenal. Padahal Kiai Abdul Halim Leuwimunding merupakan kiai pendiri NU satu-satunya dari Jawa Barat. Bahkan, Kiai Abdul Halim banyak mencatat dokumen-dokumen strategis dalam setiap sejarah penting bangsa ini karena posisinya sebagai Katib Tsani dalam kepengurusan PBNU awal (1926).

Nama KH Abdul Halim baru lebih dikenal luas setelah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berziarah ke makam Kiai Abdul Halim di Leuwimunding, Majalengka pada Maret 2003. Kiai Abdul Halim juga tersorot saat rombongan Kirab Santri Nasional 2015 Surabaya-Jakarta singgah dan berdoa di makam kiai tersebut.

Mengapa Gus Dur berziarah ke makam KH Abdul Halim Leuwimunding? Alkisah pada awal 2003, sejumlah pengurus dan anggota Banser NU Majalengka sowan pada Gus Dur di kediamannya di Ciganjur. Saat tiba di Ciganjur, Gus Dur ternyata masih belum datang dari kunjungan ke Perancis.

Setelah Gus Dur datang dari kunjungannya di luar negeri, para aktivis Banser itu diterima di kediamannya. Dalam perbincangan tersebut, Gus Dur bertanya dari mana para tamunya. Saat diberitahu bahwa para Banser itu dari Leuwimunding, Majalengka, sontak Gus Dur kaget.

Segera Gus Dur memanggil stafnya untuk mengagendakan ziarah ke makam Kiai Abdul Halim, dalam rangkaian acara kunjungannya ke Cirebon dan sekitarnya. Dalam sambutannya sekitar 45 menit di depan warga Leuwimunding di area makam Kiai Halim, Gus Dur mengemukakan peran besar Kiai Halim di masa sebelum berdirinya NU, saat pendirian, dan dalam perkembangan NU.

Kunjungan Gus Dur tersebut menunjukkan betapa besarnya perhatian pemimpin terkemuka NU dan mantan Presiden RI tersebut. Pertanyaannya sekarang, bagaimana perhatian warga masyarakat, terutama kalangan NU sendiri?  Tidak mudah memang merangkai cerita tentang seorang tokoh yang selalu “bekerja dalam diam”.

Tokoh ini dikenal rendah hati. Beruntungnya ada sejumlah tulisan karya Kiai Halim yang ditinggalkan, khususnya tentang berdirinya NU, tokoh-tokohnya, serta perkembangan NU hingga tahun 1970. Tahun itulah buku karya KH Abdul Halim, Sejarah Perjuangan KH Wahab Chasbullah yang ditulis dengan huruf Arab Pegon diterbitkan. Tetapi itulah satu di antara sedikit buku yang membahas sejarah NU saat itu. Amat langka penulis yang menulis buku tentang NU, termasuk dari kalangan NU sendiri.

Tetapi sejarah telah menunjukkan bahwa Kiai Abdul Halim sangat dekat dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Dengan kata lain, Kiai Abdul Halim adalah orang kepercayaan kedua ulama terkemuka tersebut. Lewat  Kiai Abdul Halim, dua kiai tersebut merancang komunikasi lewat surat-surat dengan para ulama terkemuka se-Jawa dan Madura.

Guru bangsa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah sosok yang dikenal intens berziarah kubur. Bahkan setiap datang ke suatu tempat, yang pertama kali ia datangi adalah makam atau kuburan. Pernah suatu ketika ia melakukan kunjungan kenegaraan ke Australia dan langsung mencari makam orang pertama dalam lintas sejarah Suku Aborigin.

Makam-makam orang penting dan berjasa dari yang paling terkenal hingga yang tidak pernah dikenal masyarakat, pernah Gus Dur kunjungi. Bagi Gus Dur, interaksi orang yang masih hidup tidak hanya dengan orang-orang yang masih berada di atas bumi, tetapi juga manusia-manusia di bawah liang lahat yang telah dipanggil Sang Kuasa.

Berziarah ke makam orang-orang mulia bagi Gus Dur adalah sebuah keistimewaan spiritual. Di saat bertemu dan berkunjung dengan sebagian orang yang masih sarat dengan kepentingan duniawi, berkunjung ke makam bagi Gus Dur merupakan washilah untuk menemukan bongkahan solusi dari setiap persoalan, karena baginya orang yang sudah meninggal sudah tidak mempunyai kepentingan apapun.

Sekilas bisa dipahami bahwa ada interaksi metafisik antara Gus Dur dengan ahli kubur. Gus Dur memang disebut mampu berinteraksi langsung dengan sosok yang diziarahinya. Lalu, apa rahasia bacaan Gus Dur saat berziarah kubur?

Suatu ketika, KH Husein Muhammad Cirebon berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya Jakarta. Ia bertemu dengan salah seorang sahabat karib Gus Dur, Imam Mudzakkir. Ia pernah mondok bersama Gus Dur ketika Lirap, Kebumen, Jawa Tengah dan di pesantren lain: Tebuireng, Tegalrejo, dan Krapyak.

Imam Mudzakkir yang juga sudah wafat pada 2017 lalu ini menceritakan kepada Kiai Husein bahwa apabila berkunjung atau berada di suatu daerah, Gus Dur selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke kuburan para wali dan ulama setempat.

Diceritakan Imam bahwa Gus Dur duduk cukup lama di pusara yang ia ziarahi. Paling tidak selama satu jam hingga satu setengah jam. “Beliau membaca tahil lalu membaca sholawat tidak kurang dari 1.000 kali,” ungkap Imam Mudzakkir almarhum. (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)

Dinyatakan oleh Imam, Gus Dur juga tidak pernah absen membaca shalawat setiap harinya. Setiap hari Gus Dur membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW sebanyak 1.000 kali. Bagi Gus Dur, shalawat merupakan jalan pembuka segala-galanya setiap seseorang melakukan kebaikan, termasuk ibadah.

Kebiasaannya berziarah kubur ke makam orang-orang mulia setempat merupakan upaya Gus Dur menjaga peradaban. Jasad seseorang boleh saja dikatakan telah tiada, tetapi pemikiran, teladan, dan jasa-jasanya penting untuk selalu diingat. Kearifan orang-orang penting di suatu daerah bisa saja hilang ketika masyarakat sekitar telah melupakan sosoknya sehingga ziarah sebagai pengingat mempunyai energi positif.

Ketika berkunjung ke Daerah Tuban, Jawa Timur, tentu saja Gus Dur tidak melewati untuk berziarah ke makam Mbah Bonang dan KH Abdullah Faqih Langitan. Namun, ada sebuah makam wali di daerah tersebut yang tidak banyak diketahui masyarakat, yakni makam Mbah Kerto.

Hal itu diceritakan oleh Muhammad AS Hikam dalam Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013). Setelah Gus Dur mengunjungi makam Mbah Kerto, tidak sedikit masyarakat yang akhirnya mengetahui salah seorang wali di Tuban tersebut. Sehingga kearifannya bisa digalih lebih mendalam sebagai teladan baik bagi generasi masa mendatang.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon