Fragmen

Gus Dur, Tokoh NU yang 'Asing' bagi Nahdliyin

Selasa, 20 Desember 2022 | 10:00 WIB

Gus Dur, Tokoh NU yang 'Asing' bagi Nahdliyin

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Membaca judul di atas, mungkin terasa aneh karena Gus Dur merupakan sosok yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), baik secara biologis maupun ideologis. Namun, demikianlah Cendekiawan Muslim Fachry Ali menulis tentang sosok Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1984-1989 itu dalam sebuah kolom di Majalah Tempo edisi 25 November 1989, “Seorang Asing di Tengah NU”.


Dari segi silsilah, Gus Dur mewarisi darah pendiri dan pucuk pimpinan NU. Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur dari ayah, merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sedangkan kakek dari garis ibunya, KH Bisri Syansuri, adalah Rais ‘Aam PBNU. Belum lagi ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim, yang juga pernah dipercaya untuk mengemban amanah sebagai Ketua Umum PBNU.


Sementara itu, jika kita melihat Gus Dur dari sisi silsilah keguruan, ia pernah mengenyam pendidikan di sejumlah pesantren, seperti Pondok Pesantren Tegalrejo yang diasuh KH Chudlori dan Pondok Pesantren Tambakberas yang didirikan leluhurnya. Belum lagi masa kecilnya yang memang tumbuh di tengah pesantren, yaitu Pondok Pesantren Tebuireng dan Pondok Pesantren Denanyar.


Sekalipun demikian, Gus Dur adalah tokoh NU yang 'asing' di tengah komunitas Nahdliyin. Hal ini tidak lain karena berbagai pandangannya yang terbilang kontroversial dan terlampau berbeda dengan pandangan para kiai di lingkungan NU sendiri. Gagasan, ide, serta respons atas berbagai peristiwa yang terjadi kerap membuat geger.


Tak pelak, para kiai enggan hanya bisik-bisik membicarakan sosok cucu dari pendiri organisasi yang amat mereka cintai itu, sekaligus juga pemimpinnya. Mereka pun menentukan jadwal bersama untuk bertabayun, klarifikasi atas sejumlah pernyataan Gus Dur yang dianggap bersimpangan dengan apa yang selama ini mereka yakini dengan sepenuh hati. Dalam bahasa yang sedikit peyoratif dan menyudutkan dalam berbagai media, Gus Dur ‘disidang’ para kiai.


Pribumisasi Islam

Fachry dalam tulisannya tersebut menyebut sejumlah gagasan kontroversial Gus Dur. Salah satunya adalah pribumisasi Islam. Pandangan ini tidak lepas dari apa yang ditanyakan oleh para kiai kepada tokoh NU yang dianggap sebagai pentolannya kaum muda itu.


Terkait pribumisasi Islam, KH Bashori Alwi meminta Gus Dur untuk memberikan penjelasan secara konsepsional. Hal itu disampaikan dalam sebuah majelis yang digelar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. Kiai Bashori menyampaikan bahwa dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang dari London, termuat persimpangan pandangan antara Amin Rais dan Gus Dur.

 

Amin Rais ingin mengislamkan Indonesia, sedangkan Gus Dur ingin mengindonesiakan Islam. Peristiwa itu disebut oleh Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur KH Imron Hamzah sebagai acara tafahum, atau saling pengertian. Diskusi ini termuat dalam Majalah Aula edisi Desember 1995.


Dalam kesempatan tersebut, Gus Dur menjelaskan bahwa hal yang dimaksud dari pribumisasi Islam adalah pemberlakuan ajaran Islam tidak harus menunggu negara, tetapi dilakukan oleh rakyat berdasarkan pendidikan dari ulama.

 

Di sini, ulamalah yang mendidik rakyat untuk dapat melakukan ajaran Islam tanpa harus menunggu ajaran tersebut diformalisasikan dalam bentuk Undang-Undang. Melalui jalan ini, meskipun terbilang lama, masyarakat akan melaksanakan ajaran Islam secara sukarela.


Gus Dur juga mengutip sebuah kaidah, al-‘adah muhakkamah, adat bisa dijadikan landasan hukum. Pertanyaannya, mana yang dijadikan landasan hukum itu? Gus Dur sendiri yang menjawabnya, yaitu yang sesuai dengan syariat.


Dalam kesempatan tersebut, Gus Dur juga mengulas, bahwa Amin Rais berpikiran untuk mengislamkan Indonesia adalah membuat ajaran Islam sebagai hukum formal menjadi UU. Dalam jangka panjang, kata Gus Dur, yang dilakukan Amin Rais adalah mengubah UUD 1945.


Kesal tapi bangga

Rais ‘Aam PBNU 1984-1991 KH Achmad Shiddiq mengaku terang-terangan bahwa ia kesal dengan Gus Dur, tetapi sekaligus bangga. “Meski hati ini kesal, saya bangga,” katanya sebagaimana dikutip Majalah Tempo edisi 25 November 1989.


Saat menjelang Muktamar ke-29 NU di Krapyak itu, Kiai Achmad Shiddiq sendiri mengungkapkan pengakuannya atas kecerdasan Gus Dur sehingga amat disayangkan jika ia tidak lagi terpilih sebagai ketua umum PBNU. “Cuma, saya kasihan kalau ketuanya bukan Gus Dur. Sebab, ide-idenya belum bisa terealisir. Padahal, ia cerdas, brilian,” kata ulama asal Jember, Jawa Timur itu.


Ketika ditanya soal Gus Dur yang dinilai kerap berpendapat aneh, Kiai Achmad Shiddiq menjawab bahwa ia memahami pemikiran Gus Dur. Ia sendiri kerap berkontak, baik secara langsung ketika Gus Dur datang menghadapnya, atau tidak bertatap muka melalui surat atau telepon.


“Saya bisa memahami pemikiran Gus Dur. Sebagai budayawan, wawasannya luas. Saya bangga. Memang, ada ulama yang menyayangkan, ketua ketoprak kok mimpin NU. Saya katakan, dilihat dari sudut NU, memang, begitu. Tapi, secara nasional, ini menguntungkan,” jelas Kiai Achmad.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad