Fragmen

Pesan KH Hasyim Asy’ari untuk Kejayaan Sebuah Bangsa

Senin, 15 Juni 2020 | 03:30 WIB

Pesan KH Hasyim Asy’ari untuk Kejayaan Sebuah Bangsa

KH Hasyim Asy'ari. (Foto: dok. NU Online)

Kualitas sumberdaya manusia menjadi syarat pokok kemajuan sebuah bangsa. Kualitas dan kapasitas seseorang bisa diperoleh dari jalan tekun belajar, gigih mencari ilmu, bekerja keras, berbuat baik kepada sesama, dan lain-lain.


Meskipun bangsa Jepang pernah menjajah Indonesia, tetapi inspirasi membangun kembali negara dari keterpurukan bisa dijadikan gambaran. Ketika Jepang luluh lantak oleh pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II (1 September 1939 - 2 September 1945), Kekaisaran Jepang terlebih dahulu mengumpulkan para pengajar atau guru yang tersisa.


Mereka sadar bahwa melalui peran gurulah ilmu pengetahuan akan tumbuh dan menjadikan manusia-manusia Jepang tetap berkualitas. Di sini tekun belajar dan gigih mencari ilmu menjadi penekanan penting bagi kemajuan sebuah bangsa.


Pendiri NU, Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang terus mendorong rakyat untuk tekun belajar dan menuntut ilmu. Beliau belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Tidak cukup menggali ilmu di dalam negeri, beliau juga memperkuat keilmuannya dengan belajar di Tanah Hijaz, Makkah.


Setelah beberap tahun menuntut ilmu di Makkah, Muhammad Asad Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat bahwa Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air tidak membawa gelar besar yang kosong, tidak pula membawa harta dunia yang bertumpuk, namun kembali di dadanya ilmu yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam.


KH Hasyim Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)


Muhammad Asad Syihab dalam bukunya itu menyebut Kiai Hasyim Asy’ari dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi.


Meskipun Kiai Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama, tetapi ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.


Pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.


Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.


Bagi mereka, tekad tersebut harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)


Sesampainya di tanah air, KH menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada tahun 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslima yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai.


Bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.


Langkah awal perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negosiator tidak bisa dielakkan begitu saja.


KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa dan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini mampu menggerakkan rakyat Indonesia untuk melawan dan mengusir penjajahan kembali oleh Belanda. Fatwa Mbah Hasyim tersebut menggambarkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban agama.


Multazam, titik tolak perjuangan KH Hasyim Asy’ari atas kondisi bangsanya kala itu. Komitmen tersebut menunjukkan bahwa kakek Gus Dur bersama kiai-kiai lainnya mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.


Ejawantah tersebut termaktub dalam prinsip yang Kiai Hasyim cetuskan, hubbul wathan minal iman (cinta tanah air merupakan bagian dari iman). Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kaum beragama untuk tidak mencintai bangsa dan negaranya.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi