Internasional

Pembukaan Olimpiade Paris 2024 Dinilai Hina Agama dan Promosikan LGBT, Ini Kata Pengamat

Kamis, 1 Agustus 2024 | 16:30 WIB

Pembukaan Olimpiade Paris 2024 Dinilai Hina Agama dan Promosikan LGBT, Ini Kata Pengamat

Pertunjukan-pertunjukan yang dinilai kontroversial pada pembukaan Olimpiade Paris 2024, Jumat (26/7/2024). (Foto: X/@sneako)

Jakarta, NU Online 

The Opening Ceremony of The Paris 2024 Olympic Game atau Upacara Pembukaan Olimpiade Paris 2024 menuai sorotan dari berbagai pihak akibat pertunjukan yang dianggap menampilkan parodi Perjamuan Terakhir. Pertunjukan ini, yang melibatkan para drag queen, dinilai vulgar dan menghina agama tertentu. 


Islamolog Ayang Utriza Yakin mengkritik keras penampilan tersebut dan menyatakan bahwa semangat olahraga adalah nilai yang seharusnya dikedepankan dalam ajang olahraga dunia. Ia menilai pertunjukan tersebut mencederai semangat Olimpiade yang seharusnya mengedepankan persamaan (equality), kejujuran dan keadilan (fair play), dan menjauhkan diri dari isu agama dan politik.


“Jiwa dan semangat olahraga itu harus jauh dari simbol dan isu agama dan politik, tetapi mereka justru memasukkan simbol agama tertentu ke dalam olahraga. Lebih daripada itu, dengan penampilan di acara pembukaan Olimpiade, mereka mencemooh, mengejek, dan merendahkan agama Kristen. Menurut saya, hal ini jauh dari semangat saling menghormati antara pemeluk agama,” jelas peraih master dan doktor sejarah dan filologi dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, dihubungi NU Online Selasa (30/7/2024) malam.
 

Pembukaan Olimpiade terburuk

Riza, panggilan akrab lainnya, juga menyebut pembukaan ini sebagai yang terburuk dalam sejarah olimpiade dunia. “Ini adalah pembukaan Olimpiade terburuk sepanjang sejarah,” tutur Peneliti di SciencesPo Bourdeaux, Prancis itu.

 

Pertunjukan tersebut menampilkan seni dan budaya Prancis yang rendah yang mengecewakan banyak masyarakat Prancis khusunya, dan Eropa/Barat pada umumnya. 


“Ini adalah pembukaan Olimpiade oleh negara Prancis, negara yang dianggap memiliki kebudayaan dan citra rasa seni yang tinggi, justru menampilkan seni yang begitu rendah, sangat rendah sekali,” imbuh dia. 


Dosen tamu di Fakultas Hukum UCLouvain, Belgia, itu menduga bahwa acara tersebut dikendalikan oleh satu kelompok elit sangat kecil tertentu yang cenderung mempromosikan agenda LGBTQ+. Ia berpendapat bahwa hal tersebut kesalahan yang justru berpotensi mengurangi simpati terhadap komunitas LGBTQ+ dan justru meningkatkan antipati. 


“Mereka tidak bisa membedakan menampilkan seni untuk ajang perhelatan akbar sedunia olahraga Olimpiade dengan Gay Pride, yaitu parade kaum LGBTQ+,” jelasnya.  


“Apa maksudnya? Ingin menampilkan orang-orang LGBTQ+? Ini bukan tempatnya. Apa yang mereka lakukan sama sekali tidak menampilkan kredo masyarakat Prancis secara umum. Perancang dan para aktor di acara itu hanya kelompok super-minoritas,” ujarnya.


“Apa pesannya? Apakah ini ingin menyampaikan pesan bahwa ‘walaupun kami kelompok ultra-kecil, tetapi kami menguasai kalian semua’? Ini juga kesalahan fatal. Di Prancis, masyarakat yang tadinya simpati terhadap kelompok ultra minoritas LGBTQ+, dengan adanya ini, justru malah bisa membuat orang antipati,” tambah Riza.  


Gambarkan nilai-nilai Prancis

Sebaliknya, Sosiolog jebolan Universite Paris Diderot, Airin Miranda, menilai pertunjukan tersebut sebagai pesan inklusivitas dan keterbukaan yang mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung oleh Prancis, yaitu kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. 


Menurutnya, pertunjukan yang melibatkan drag queen adalah upaya untuk menunjukkan penghormatan terhadap perbedaan dan pengakuan akan keberagaman di Prancis.


“Kesempatan ini juga menjadi ajang untuk menunjukkan nilai-nilai yang dijunjung oleh Prancis yang sekuler, yang mereka sebut sebagai nilai-nilai republikan, yaitu Liberte, Egalite, Fraternite atau Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan dan penolakan akan diskriminasi,” jelasnya kepada NU Online.


Airin meyakini motif utama pertunjukan tersebut adalah promosi nilai-nilai keterbukaan dan kesetaraan yang menjadi landasan negara Prancis. Negara, lanjutnya, memberi wadah untuk ekspresi tanpa mendiskriminasi identitas, dalam hal ini identitas gender dan orientasi seksual, berbagai kelompok di Prancis.


Ia juga menolak anggapan bahwa pertunjukan tersebut meniru adegan Last Supper dan menegaskan bahwa tokoh Dionisos yang muncul dalam pertunjukan tersebut lebih relevan dengan tema inklusivitas dan keberagaman daripada penistaan agama.


“Jika kita fokus pada pertunjukan pagelaran busana di atas meja makan yang disebut meniru adegan Last Supper, sebetulnya belum bisa dibuktikan, karena aspek-aspek yang dikatakan ‘mirip’ dengan kisah di Alkitab itu tidak bisa ditemukan dalam pertunjukan dengan drag queen tersebut,” jelas Dosen Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) dari Universitas Indonesia itu.


Menurutnya, pertunjukan tersebut juga mempromosikan budaya dan seni yang berkembang di Prancis, serta mencerminkan perubahan sosial dan politik di negara tersebut, dengan koalisi partai kiri yang kini mendominasi parlemen Prancis dan mendukung kaum marjinal.


“Bila kita kaitkan dengan hasil pemilu legislatif yang memenangkan koalisi partai kiri, setelah cukup lama parlemen Prancis dikuasai koalisi partai kanan, hal ini bisa juga dimaknai sebagai perubahan sosial dan politik di Prancis saat ini,” jelas dia.


“Aliran politik kiri dikenal selalu mendukung perbedaan dan membela kaum marjinal. Kemenangan politik kiri adalah jaminan pengakuan dan perhatian yang lebih besar terhadap kaum ini,” pungkasnya.