Nasional

Ahmad Tholabi, Pengurus LTN PBNU, Dikukuhkan sebagai Guru Besar Syariah UIN Jakarta

Rabu, 14 September 2022 | 11:30 WIB

Ahmad Tholabi, Pengurus LTN PBNU, Dikukuhkan sebagai Guru Besar Syariah UIN Jakarta

Prof Ahmad Tholabi Kharlie saat menerima piagam pengangkatannya sebagai Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari Rektor Prof Amany Lubis. (Foto: NU Online/Suwitno)

Tangerang Selatan, NU Online

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki satu profesor lagi. Hari ini, Rabu (14/9/2022), Ahmad Tholabi Kharlie dikukuhkan sebagai guru besar kampus tersebut. 


"Karena telah memenuhi syarat-syarat yang sudah saya sampaikan tadi, Ahmad Tholabi Kharlie dengan ini dikukuhkan sebagai guru besar," kata Prof Dede Rosyada, Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam pidato pembukaan di Auditorium Harun Nasution di kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.


Tholabi menyampaikan pidato pengukuhan bertajuk "Koeksistensi Hukum Nasional: Reformulasi Hukum Keluarga dan Hukum Administrasi di Indonesia".


Menurutnya, setelah Orde Baru runtuh, aspirasi dan gagasan perihal persandingan antara hukum agama dengan hukum nasional semakin menguat. Ini salah satunya ditandai dengan masuknya nomenklatur hukum agama dan hukum adat dalam Tap MPR No. IV/1999.


"Lebih konkret lagi, di era reformasi, penyebutan hukum agama dan hukum adat disandingkan dengan hukum nasional semakin mengukuhkan secara khusus posisi hukum agama (Islam) sebagai salah satu pilar penting dalam pembentukan hukum nasional," tuturnya dalam pidato.


Tholabi mendorong pentingnya koeksistensi hukum nasional dengan hukum adat dan hukum agama. Konstitusi Republik Indonesia, menurut pria kelahiran Serang itu, memberi ruang bagi koeksistensi demikian, yaitu dalam Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 29 ayat 2.


"Ketentuan tersebut menjadi landasan konstitusional terhadap eksistensi hukum adat termasuk hukum agama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar akademisi kelahiran Banten 46 tahun yang lalu itu.


Koeksistensi dan Inkonsistensi

Namun, upaya untuk mewujudkan persandingan hukum nasional memang tidak semudah yang dibayangkan. Meski hukum adat, misalnya, sudah diakomodasi sejak zaman kolonial, praktiknya tetap menemui banyak problem. Persoalan itu muncul baik dari sisi hilir maupun hulu.


Salah satu problemnya adalah benturan antarnorma hukum yang berimplikasi serius dalam pelaksanaan aturan. Ini berdampak pada munculnya anggapan publik bahwa ada inkonsistensi dalam penerapan hukum. Padahal masyarakat berekspektasi hukum bisa menciptakan harmoni.


Tholabi mengajukan hukum administrasi sebagai contoh ketidakajekan yang dimaksud. Dalam pelaksanaannya, hukum tersebut kadang-kadang "menjadi pemantik kekisruhan di masyarakat."


"Keberadaan norma hukum keluarga dengan hukum administrasi menjadi contoh yang paling demonstratif dalam mendeskripsikan kondisi benturan antarnorma," tegas pengurus LTN PBNU itu. 


Ia lalu mencontohkan penerapan UU Perkawinan yang kerap bertubrukan dengan UU Administrasi Kependudukan:


"Persoalan yang paling banyak mengemuka terkait dengan persoalan perkawinan beda agama yang secara eksplisit tidak memiliki ruang dalam UU Perkawinan. Namun di sisi lain, keberadaan norma dalam Pasal 35 huruf a dan Pasal 36 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memberi ruang perkawinan beda agama."


Tholabi mengajukan solusi normatif bagi problem tersebut. Negara, dalam hal ini, perlu perlu bertindak.


"Fakta inilah yang mestinya dapat dituntaskan oleh negara melalui penataan hukum keluarga yang solid dan holistik sehingga memberi kepastian hukum kepada warga negara," tandas pria kelahiran 1976 itu.


Pewarta: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Syakir NF