Nasional

Di Perang Sabil, Diponegoro Pakai Simbol Agama untuk Tuntut Keadilan

Kamis, 25 Juli 2019 | 16:30 WIB

Di Perang Sabil, Diponegoro Pakai Simbol Agama untuk Tuntut Keadilan

Zastrouw Al-Ngatawi

Jakarta, NU Online
Mengenal Diponegoro tidak bisa lepas dari peristiwa bersejarah, yakni Perang Sabil atau yang juga dikenal sebagai Perang Jawa (De Java Oorlog van 1825-1830). Peristiwa itu banyak disebut menjadi tonggak sejarah perang di bawah panji syariat Islam di Tanah Jawa.
 
Menurut Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi, Diponegoro merupakan seorang yang masuk kategori radikal kritis dan bukan radikal fundamentalis. Disebut demikian, kata Zastrouw, karena Dipongoro saat Perang Sabil menggunakan simbol-simbol agama dan ayat-ayat Al-Qur-an untuk menuntut keadilan kepada penjajah yang zalim. 
 
Jadi menurutnya, tidak dibenarkan kalau ada kelompok yang ingin menegakkan negara Islam atau khilafah dengan memakai spirit Diponegoro. 
 
"Ini kalau kita salah menjelaskan, ini bisa menjadi inspirasi kaum Wahabi bahwasanya 'iki kudu diberontak iki', padahal dulu yang diberontak (oleh Diponegoro) itu londo (Belanda), bukan pemerintahan yang sah (seperti Indonesia), yang beragama Islam," kata Zastrouw.
 
Hal tersebut diungkapkan pada peluncuran buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 karya Zainul Milal Bizawie di Auditorium 2 Gedung Perpusnas RI, Jakarta Pusat, Kamis (25/7).
 
Pria yang juga akademisi Unusia Jakarta ini pun menguraikan ciri-ciri radikal kritis.
 Pertama, menjadikan ayat dan simbol agama untuk melakukan perlawanan menuntut keadilan. "Jadi tujuannya bukan untuk fundamentalis, mendirikan khilafah, dan menegakkan syariat, bukan itu," ucapnya.
 
Kedua, tokohnya berasal dari lokal dan mengadopsi tradisi dan kebudayaan yang ada. Ketiga, merajut kekuatan-kekuatan lokal ini bukan dari bagian gerakan transnasional.
 
"Ini yang membedakan Diponegoro dengan gerakan fundamentalis. Meskipun sama-sama pakai agama, sama-sama pakai simbol ayat, tetapi spirit yang ada di dalamnya bukan untuk fundamentalisme agama, tetapi kritisisme agama, sehingga dia menjadi 'Bapak Nasionalisme Indonesia' sebelum gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh para ex pendidikan Eropa itu," ucapnya.
 
Menurutnya, Perang Sabil merupakan bentuk nasionalisme Diponegoro. Nasionalisme itu terbentuk atas bacaannya yang luas dan menggabungkan antara khazanah Arab dan kenusantaraan. 
 
Diponegoro disebut mempelajari kitab-kitab kuning klasik, seperti Al-Ghayah wat Taqrib karya Al-Qadhi Abu Syuja, Nasihatul Mulk karya Imam Ghazali, Muharrar karya Imam Al-Fara'i, dan Lubabul Fiqih karya Al-Mahalli, dan Tajus Salatin. 
 
Selain itu, Diponegoro juga mengkaji kitab-kitab kejawaan, yakni Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa, Joyo Lengkoro Wulang, dan Bongo Suwiryo. "Sehingga dia bisa mempertautkan antara khazanah klasik kitab-kitab kuning warisan kebudayaan Arab, pemokiran Timur Tengah dengan khazanah kenusantaraan Indonesia, dan dia rajut menjadi suatu spirit perjuangan nasionalisme," bebernya. 
 
Diponegoro jelasnya, menyatukan ulama, ksatria, pendeta, dan seluruh lapisan masyarakat karena beliau mempunyai kapasitas untuk itu. (Husni Sahal/Muiz)