Nasional

Dinasti Politik: Definisi, Dampak Negatif, dan Penyebabnya

Jum, 21 Juni 2024 | 18:45 WIB

Dinasti Politik: Definisi, Dampak Negatif, dan Penyebabnya

Ilustrasi. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Dinasti politik tengah menjadi bahasan yang hangat dalam kancah perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini. Para pengamat dan pakar politik memberikan penjelasan tentang definisi dinasti politik beserta penyebabnya.


Pengajar Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes) Martien Herna Susanti dalam jurnal berjudul Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia menjelaskan bahwa, dinasti politik dan politik dinasti adalah dua hal yang berbeda.


Menurut Martien, dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang.


Sementara politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.


"Dinasti politik merupakan musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya," jelas Dosen Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Unnes itu, sebagaimana dikutip NU Online, pada Jumat (21/6/2024).


Pengajar Ilmu Hukum dan Kebijakan Pendidikan di Georgetown University Law Center Amerika Serikat Jason Synder juga membahas tentang dinasti politik dalam jurnalnya yang berjudul Political Dynasties


Synder mengungkapkan, dinasti politik telah menjadi perhatian di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia. Ia menyoroti proses pemilihan umum dan kepemimpinan yang sering kali terpengaruh oleh keterlibatan keluarga politik yang berpengaruh.


Menurut Synder, hal itu berpotensi menghalangi akses dan kesempatan bagi individu-individu dari lapisan masyarakat yang lebih luas untuk terlibat dalam politik dengan merintangi proses kaderisasi dan rekrutmen yang adil.


Dampak negatif dan penyebab dinasti politik

Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana menjelaskan, dinasti politik dapat dikategorikan sebagai bentuk neopatrimonialisme, yakni ketika kontrol politik dipertahankan melalui jalur keluarga atau hubungan personal yang erat.


Menurutnya, dinasti politik berbeda jauh dengan prinsip demokrasi yang ideal ketika kekuasaan harus dijalankan berdasarkan pada kompetensi dan kehendak rakyat.


 "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktik ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet," jelas Ari Dwipayana, dalam artikel artikel di situsweb MKRI


"Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN," terangnya.


Ari Dwipayana mengungkapkan tiga penyebab yang membuat dinasti politik muncul dalam sebuah negara.


Pertama, karena adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.


Kedua, adanya kelompok terorganisasi karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok, sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.


Ketiga, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi.