Nasional

KH Afifuddin Muhajir Jelaskan Proses Pengambilan Hukum dalam Islam

Selasa, 3 September 2024 | 20:00 WIB

KH Afifuddin Muhajir Jelaskan Proses Pengambilan Hukum dalam Islam

Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Golden Palace Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Selasa (3/9/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Mataram, NU Online

Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir menjelaskan proses pengambilan hukum dalam Islam melalui berbagai alat dan metode keilmuan yang berasal dari kitab-kitab para ulama.


Kiai Afif, sapaan akrabnya, menggarisbawahi bahwa pandangan-pandangan para ulama tidak mungkin bisa dipahami tanpa seseorang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits). Untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits, seseorang memerlukan penguasaan sejumlah perangkat keilmuan seperti ushul fiqih, kaidah fiqih, ilmu hadits, ulumul Qur’an, dan lainnya.


Penulis kitab Fathul Mujibul Qarib itu juga menjelaskan bahwa untuk memahami perangkat-perangkat keilmuan dalam istnbath hukum, seseorang perlu memahami kaidah-kaidah bahasa serta mampu mengaitkan nash satu dengan nash lainnya.


“Karena sifat nash itu saling berkaitan. Ayat dengan ayat berkaitan, hadits dengan hadits berkaitan, hadits-hadits dengan Al-Qur’an. Tidak mungkin seseorang memahami ayat ini tanpa memahami ayat yang lain, tidak mungkin memahami hadits ini tanpa memahami hadits yang lain,” jelas Kiai Afif, dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Golden Palace Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Selasa (3/9/2024). Seminar ini diikuti 150 kiai dan pengelola pondok pesantren.


Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Silahuddin mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama telah menyusun Peraturan Perkumpulan (Perkum) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pembahasan dan Penetapan Hukum Atas Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan. Perkum tersebut memuat 18 pasal yang bisa digunakan pengurus NU dan pengelola pondok pesantren dalam melaksanakan proses bahtsul masail dan pengambilan hukum.


Menurut Silahuddin, NU secara keroganisasian telah lama melakukan kegiatan proses pengambilan hukum Islam dalam tradisi bahtsul masail.


"Jadi sekarang ijtihad dalam istinbath hukum Islam itu banyak dilakukan lembaga itjihad, maka muncul Majma Al-Buhuts di Mesir tahun 1961, Majma Al-Buhuts di Makkah baru muncul tahun 1980, Majma Al-Buhuts oleh OKI tahun 1980, NU lebih tua, sudah ada tradisi bahtsul masail secara kelembagaan," jelas Silahuddin.


Selain membahas tentang sistem istinbath hukum Islam, forum ini juga membicarakan fiqih wakaf dan aset, serta metode penetapan awal bulan hijriah. Pembahasan tentang metode penetapan awal hijriah penting dipahami bersama karena pengurus NU di berbagai tingkatakan dan pondok pesantren punya andil signifikan ketika proses rukyatul hilal.


Forum ini juga dihadiri oleh Katib Syuriyah PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali dan KH Hasan Nuri Hidayatullah, Ketua PBNU H Fami Akbar Idris, Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah PBNU KH Ma’rufin Sudibyo, Rektor UIN Mataram Prof Masnun, Kepala Kanwil Kemenag NTB Zamroni Aziz, Kakanwil Kemenag Bali Komang Sri Marheni yang diwakili Kabid Bimas Islam Abu Siri.