Nasional

Lagi, Inayah Wahid Bawakan Puisi Telolet di Rembug Budaya PBNU

Jumat, 30 Desember 2016 | 02:00 WIB

Jakarta, NU Online
Sarasehan Media dan Rembug Budaya yang diselenggarakan Lesbumi PBNU dan media-media NU mengundang putri Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Inayah Wahid.

Dia membaca puisi sebagai pengantar diskusi di lantai 8 gedung PBNU Jakarta, Kamis (29/12). Puisi ini juga sempat ia bawakan dalam momen Haul Ke-7 Gus Dur di Ciganjur 23 Desember 2016 lalu. Lewat puisinya, Inayah Wahid berhasil mengocok perut peserta yang hadir malam itu. 

Berikut puisi yang dibacakan Inayah Wahid:

Doa Seorang Milenial di Penghujung 2016: Sebuah Puisi Sok Kekinian

Zainudin tertulis di akta, Oke Jay nama akun media sosialnya. Sudah centang biru, tanda popularitas dan jaminan mutu. Kata Inayah mengawali puisinya.

Puisi Inayah bercerita tentang Jay yang berumur 24 tahun dan memiliki 368 ribu follower di akun media sosial. Viewer videonya hampir mencapai sejuta penonton. Jay sebagai pemeran utama dalam puisi tersebut digambarkan Inayah sebagai orang yang biasa memasarkan berbagai produk, politik, hingga memasarkan produk kencatikan.

Malam ini ada yang berbeda, ini bukan malam biasa. hatinya resah, penuh dihalangi rasa bersalah, mencoba memuaskan tanya-tanya yang ia tak tahu jawabannya. Selepas sholat Isya, bergeming Jay di atas sajadah. Kedua tangannya tengadah, air sedikit menggenang di sudut mata. Mulutnya komat-kamit merapal doa. 

"Ya Allah yang Maha Pengasih," Dia meratap lirih. "Berdosakah aku kalau tadi pagi makan Sari Roti? Roti itu kubeli karena kasihan. Pedagangnya rentah usia 60-an, sudah beberapa hari tak ada yang mau beli,” begitu keluhnya. 

Inayah juga menuturkan kalau Jay menyesal minum Equil, "Tapi sunggu, saya minum tak sampai mabuk," kata Inayah menirukan tokoh Jay. Jay menahan tangis, suaranya tercekat seakan habis.

"Ya Tuhanku akankah aku masuk neraka. Karena kepada pacarku yang tak berjilbab aku tak pernah marah, malah kukagumi rambut hitamnya. Sedangkan pahlawan tak berkerudung di uang rupiah, mereka bilang itu salah."

Hati Jay makin runyam, perasaan takut makin mencekam, api neraka makin membayang. "Ya Tuhanku yang berkuasa atas segala, rusak sudah akidahku. Karena aku tak sengaja pakai topi santa minggu lalu. Berfoto bersama kawan di bawah pohon natal yang diletakkan di pojok kantorku. Tapi aku sungguh tidak tahu, busana itu produk budaya saja, buatan Cocacola katanya. Sekarang aku kasihan pada emak, hancur pasti hatinya melihat akidah anaknya rusak."

Matanya semakin basah, tetesnya turun hingga ke leher sambil menarik ingus, ia melanjutkan. "Ya Allah yang MahaTahu, siapakah yang harus jadi panutanku? Ulama mana yang patut ditiru? Ulama baru tapi terkenal di TV, wajahnya seliweran di sana-sini, yang ceramahnya sering membuatku merasa kalah dan  jika tak sependapat dianggap salah?"

"Atau kiai renta yang terlalu lama belajar agama, dan jarang berfatwa? Tak terkenal karena tak masuk media? Yang dakwah-dakwahnya menenangkan, membuatku memandang-Mu penuh kecintaan? Tapi banyak yang menganggap mereka hina, pernyataanya malah ditanggapi dengan amarah”.

“Ndasmu! Itu kata mereka”

“Ya Allah apakah damai tidak bisa menjadi nyata?” Jay mengeluh saat membuka berita yang muncul hanya amarah dan kebencian yang membabi buta. “Sementara Engkau selalu berfirman bahwa kami (manusia) adalah saudara, rahmat bagi semesta. Tapi Suriah, Amerika, dan kini Indonesia mengatakan sebaliknya, kenapa, kenapa?”. 

Terisak-isak tangis seperti di sinetron drama, berguncang tubuhnya hingga lemas, tangan yang tadi menengadah mulai rebah, badanya bersandar pada dipan, hatinya menanti jawaban. Tiba-tiba telepon pintarnya menyala. Notifikasi muncul di layarnya. Seraik senyum muncul di wajahnya.

Mungkin ini pertanda. Kata Inayah menyuarakan alam pikiran Jay. "Bukankah Tuhan sering menjawab doa dengan tanda simbol atau mimpi. Bisa jadi ini jawaban yang dicari." 

Hati-hati dibuka notifikasi komentar dari seorang sahabatnya pada sebuah foto yang tadi siang dipostingnya. Begini bunyinya, "Om Telolet Om." (Husni Sahal/Fathoni)