Nasional

Ngaji Tasawuf Dadakan di Pesantren Al-Istiqomah Bandung

Sabtu, 18 Januari 2020 | 14:00 WIB

Ngaji Tasawuf Dadakan di Pesantren Al-Istiqomah Bandung

Santri Pondok Pesantren Al-Itiqomah Bandung. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Jakarta, NU Online
Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) melakukan Anjangsana Pesantren di Tatar Sunda mulai Senin (13/1) hingga Kamis (16/1). Kendati tak mengikuti sedari awal, tak membuat semangat Pengajar FIN Unusia Ulil Abshar Abdalla tidak mengikuti keseluruhannya. Sepertinya, sebagai pengampu mata kuliah Hukum Islam Nusantara, ia memegang prinsip kaidah usul fiqih, apa yang tidak didapat secara keseluruhan, tidak ditinggalkan seluruhnya, sehingga ia menyusul ke Bandung.

Saat rombongan FIN Unusia dalam perjalanan dari Pondok Pesantren Al-Ittifaq Ciwidey, Bandung yang diasuh oleh KH Fuad Affandi menuju Pondok Pesantren Al-Istiqomah, pria yang disapa Gus Ulil ini sudah lebih dulu tiba di pesantren tujuan itu pada Selasa (14/1) malam. Saat rombongan tiba, Gus Ulil sudah di ruangan yang telah disediakan. 

Beberapa menit, para pengajar pun berbincang sembari menikmati hidangan cemilan yang disediakan. Dewan pengasuh pun mempersilakan makan. Meskipun baru saja makan di kediaman Kiai Fuad, para pengajar FIN Unusia tidak menolak permintaan tersebut sebagai bentuk penghormatan sambutan tuan rumah kepada tamunya.

Usai makan, pengasuh meminta pesantren tersebut meminta para pengajar FIN Unusia untuk menyampaikan nasihat kepada ratusan santri-santrinya yang telah menunggu sedari bakda isya. Sebetulnya, pengasuh meminta siapa saja di antara pengajar FIN Unusia. Tetapi, semua bersepakat agar pengampu pengajian Ihya Ulumiddin daring itu memenuhi permintaan tersebut bersama Budayawan Ngatawi al-Zastrouw.

Seluruh kitab nahwu selalu diawali dengan bab kalam. Pun kitab fiqih hampir dapat dipastikan diawali dengan bab tentang bersuci. Dua fan ilmu ini juga menjadi dua di antara ilmu keagamaan paling pokok yang dipelajari oleh para santri.

Pendahuluan bab tersebut daripada bab-bab lainnya bukan sekadar penempatan tanpa arti. Tetapi, keduanya menjadi bab paling penting bagi para santri untuk dipelajari. Pasalnya, santri merupakan orang yang dididik guna menjadi pendakwah Islam di tengah masyarakat luas.

Kalam mengantarkan mereka untuk mampu berbicara dengan baik. Tidak cukup itu, tetapi juga bahasa yang digunakan benar dan santun sehingga orang yang didakwahi dapat mengikuti apa yang disampaikannya.

Alasan lainnya, lanjut pengampu kitab Ihya Ulumiddin daring itu, berdakwah harus disampaikan dengan hati yang suci. Toharoh yang menjadi materi awal yang dikaji dalam bidang fiqih bukan sekadar untuk shalat belaka. Lebih dari itu, bab tersebut sebetulnya mengingatkan para pengkajinya untuk menyucikan dirinya juga.

“Kitab thaharah bukan sekadar untuk shalat, tetapi hati suci untuk menghindarkan dari kebencian,” ujarnya di pesantren yang didirikan oleh KH Ali Imron Faqih pada tahun 1998.

Tak aneh jika bab jihad diletakkan pada bagian terakhir setiap kitab fiqih. Sebab, seseorang yang hendak berjihad, katanya, harus memiliki jiwa yang suci.

Oleh karena itu, Gus Ulil menegaskan bahwa jika berdakwah penuh dengan kebencian, maka harus mengaji bab thaharah kembali guna menyucikan hatinya dari penyakit tersebut.
 
“Harus diulang belajar lagi kalau masih diliputi dengan kebencian supaya berdakwah dengan ikhlas,” katanya di pesantren yang memfokuskan para santrinya mempelajari bidang keilmuan alat, atau kebahasaan dan kesusastraan Arab itu.

Meskipun pesantren tersebut fokus mempelajari ilmu alat, Pengasuh Pesantren Al-Istiqomah H Fuad Ruhiyat menyampaikan bahwa bukan berarti bidang keagamaan lainnya dinafikan. Para santri juga mempelajari fiqih dan bidang keagamaan lainnya.

Pesantren tersebut juga membuka pendidikan formal mulai dari tingkat menengah sampai perguruan tinggi. Putra ketujuh Kiai Imron itu ditunjuk sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Manggala yang baru didirikan pada tahun lalu itu.

Para pelajar yang bersekolah di lingkungan Pesantren Al-Istiqomah tidak hanya belajar sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, tetapi juga mereka dituntut untuk mengaji berbagai literatur kitab kuning.

“Kami terapkan juga kurikulum pesantren, pelajaran kitab kuning dari Jurumiyh ilmu nahwunya, Safinah bagian fiqihnya, dan Tijan untuk tauhidnya baik di SMP maupun SMA masuk kurikulum sekolah,” katanya.

Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi