Nasional

Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah Dinilai Bukan Melindungi, Tapi Merusak Anak

Selasa, 6 Agustus 2024 | 10:00 WIB

Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah Dinilai Bukan Melindungi, Tapi Merusak Anak

Ilustrasi pelajar di sekolah. (Foto: iStock)

Jakarta, NU Online

Pasal penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja dalam Peraturan Pemeritah No. 28 tahun 2024 tentang Kesehatan menuai kontroversi dan penentangan dari lapisan masyarakat. Tepatnya, di pasal 103, khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.


Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji memandang bahwa pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat. Karena aturan ini jelas menyangkut hajat hidup mereka. Apalagi, kata dia, peraturan ini entah bagaimana prosesnya, sangat tidak partisipatif dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya. 


“Daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah dan juga merusak moralitas anak-anak, sebaiknya aturan ini dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas,” tegas Ubaid lewat keterangannya kepada NU Online, Selasa (6/7/2024) di Jakarta.


Dia mengungkapkan, saat ini Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak. Menurut data National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), kasus konten pornografi pada anak di Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia, dan peringkat dua skala Asia Tenggara.


“Di tengah situasi yang semacam ini, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi,” tutur Ubaid.  


Karena itu, terkait dengan polemik ini, JPPI menyatakan sikap:

  1. Cabut PP 28/2024 karena merusak masa depan anak. Peraturan ini jelas merusak masa depan anak-anak Indonesia. Jika dipaksakan, mereka kian akan terpapar kekerasan seksual dan juga pornografi di lembaga pendidikan. Selain itu, aturan ini juga dibuat diam-diam dan tidak melibatkan publik secara luas. Padahal, beleid ini sangat terkait hajat hidup orang banyak, terutama orang tua dan anak-anak usia sekolah.
  2. Tolak penyediaan alat kontrasepsi pada anak di sekolah. Yang mereka butuhkan adalah edukasi pendidikan kesehatan reproduksi, bukan kebutuhan alat kontrasepsi. Penyediaan alat kontrasepsi yang salah tempat, berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak, yang berujung pada jebakan kasus kekerasan pada anak.
  3. Penguatan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. Anak usia sekolah harus fokus pada proses pendidikan reproduksi di sekolah, bukan malah melakukan kegiatan aktif penggunaan alat kontrasepsi. Sebab, anak usia sekolah, belum dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual (age of consent).


Senada, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), Achmad Zuhri mendesak pemerintah segera melakukan revisi dan peninjauan ulang terhadap PP Nomor 28 Tahun 2024 dengan melibatkan berbagai pihak termasuk organisasi keagamaan, ahli pendidikan, dan tokoh masyarakat.


“Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap ketentuan yang diatur dalam PP ini sesuai dengan nilai-nilai agama, moral, dan amanat pendidikan nasional,” tuturnya.


Zuhri menilai aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar tak mencerminkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang menjadi landasan moral dan spiritual bangsa Indonesia.


Ia menyebut peraturan mengenai hak reproduksi dan kesehatan seksual terlalu liberal dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kesucian dan kehormatan manusia dalam Islam.


“Pendidikan kesehatan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak reproduksi, seharusnya disampaikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia,” ujar Achmad Zuhri kepada NU Online, Senin (5/7/2024). 


Dia menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya menggunakan skema pencegahan melalui penguatan nilai moralitas dan edukasi positif tanpa harus memberikan alat kontrasepsi.


Dalam PP tentang Kesehatan itu, Pasal 103 Ayat (4) menyebut sejumlah pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja termasuk deteksi dini penyakit, pengobatan, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.


Bagian penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja ini tidak dijelaskan lebih lanjut di pasal 103. Sementara di Pasal 104, yang mengatur pelayanan kesehatan reproduksi usia dewasa, penyediaan alat kontrasepsi secara jelas disebutkan bagi pasangan usia subur dan kelompok berisiko.


Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan bahwa Pasal 103 Ayat (4) butir “e” yang menyebut penyediaan alat kontrasepsi maksudnya ditujukan bagi remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil, kata dia dilansir BBC News Indonesia.