Nasional

Pesan Hari Musik Nasional, Lesbumi PBNU: Bercerminlah pada Lagu Indonesia Raya

Kamis, 9 Maret 2023 | 21:00 WIB

Pesan Hari Musik Nasional, Lesbumi PBNU: Bercerminlah pada Lagu Indonesia Raya

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) KH Jadul Maula. (Foto: Dok. istimewa)

Medan, NU Online

9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Tanggal tersebut terpilih karena merupakan hari lahir Wage Rudolf Supratman, seorang pencipta lagu Indonesia Raya.


Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) KH Jadul Maula menyampaikan bahwa musik bukan sekadar hiburan belaka. Lebih dari itu, musik adalah cerminan kondisi masyarakat.


“Para pemimpin, bercerminlah dari lagu-lagu sekarang. Belajar pada lagu-lagu WR Suptratman,” katanya saat ditemui NU Online usai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) di Santika Dyandra Hotel and Convention Medan, Sumatra Utara, Kamis (9/3/2023).


“Sampai ada ungkapan dari seorang kiai, sebetulnya masalah Indonesia ini selesai kalau semua warga menghayati lagu Indonesia Raya. Lagu itu bertujuan asal pendirian negara,” lanjut Kiai Jadul.


Hari Musik ini, kata Kiai Jadul, mestinya diperhatikan oleh pemangku kebijakan negara. Relevansi Hari Musik adalah catatan bagi pemangku untuk menciptakan kehidupan yang menghargai fitrah kemanusiaan yang menghargai jiwa dan daya spiritual dari kehidupan yang punya martabat.


“Kalau elit pemangku kebijakan pejabat itu tindakannya, perbuatannya, perilakunya itu menghina fitrah kemanusiaan, fitrah kehidupan, suasana kehidupan sosial ekonomi merosot, itu akan merusak musik,” katanya.


Para pendiri negara dahulu memiliki lagu-lagu yang heroik dan dekat dengan hati nurani masyarakat. Lagu-lagu campur sari yang mengungkapkan keterasingan, kenestapaan, keputusasaan iu menjadi kritik keras terhadap para elit negeri ini agar menjadi cermin. “Hari Musik harus dikembalikan kepada arah mana tujuannya,” katanya.


Sebab, musik erat kaitannya dengan kehidupan sosial sehingga Hari Musik ini penting untuk mengingatkan para elit mengenai kebijakan publik. Ia menegaskan bahwa musik bukan sekadar hiburan, tetapi memiliki sesuatu yang penuh makna, mempunyai akar dan tujuan sosial untuk kebaikan bersama dalam rangka menaikkan harkat dan martabat kehidupan, dalam konteks ini kebangsaan.


“Musik sebagai bagian dari ungkapan fitrah kemanusiaan yang tumbuhnya, munculnya karena daya spiritual,” ujarnya.


Oleh karena itu, Kiai Jadul menegaskan bahwa Hari Musik merupakan momentum penting untuk mengingatkan kembali para kreator, para musisi, dan juga para penikmat musik akan pentingnya apresiasi dan respons kondisi sosial.


Jika apresiasi dari penikmat musik itu rendah hanya untuk kepuasan bersifat sensasional dan didukung oleh industri lalu membentuk pangsa pasar maka akan menjatuhkan musik itu sendiri. “Musik yang tercipta hanya memenuhi selera pasar yang merosot dari segi fitrah kemanusiaan,” ujarnya.


Musisi perlu memiliki idealisme dan tujuan fitrah kemanusiaan, menaikkan harkat, martabat kehidupan agar tidak larut dalam kemerosotan yang diakibatkan pasar. “Ini menjadi catatan makna penting dari fitrah kemanusiaan,” katanya.


Tentu, penikmat tidak bisa disalahkan begitu saja. Semua orang bisa menikmati musik, apresiasinya tergugah jika dalam kondisi kehidupan sosial ekonominya menunjang itu. Namun, jika kehidupannya penuh penindasan, seperti eksploitasi atau dikecewakan oleh kebijakan-kebijakan negara, perilaku aparat negara, bisa jadi selera musiknya akan berhubungan dengan hal tersebut.


“Musik merespons realitas yang keras seperti itu,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Yogyakarta itu.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad