Nasional

Respons Guru Besar UIN Jakarta soal KUA Jadi Tempat Pencatatan Nikah Semua Agama

Senin, 26 Februari 2024 | 11:00 WIB

Respons Guru Besar UIN Jakarta soal KUA Jadi Tempat Pencatatan Nikah Semua Agama

Guru Besar UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie. (Foto: istimewa)

Jakarta, NU Online

Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) akan melakukan pengembangan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pencatatan pernikahan bagi seluruh pemeluk agama, bukan lagi hanya Islam.


Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa KUA akan menjadi sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. 


“KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama,” ujar Yaqut dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, di Jakarta pada Jumat (23/2/2024).


Kebijakan anyar ini mendapat respons dari sejumlah pihak, termasuk Guru Besar Ilmu Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Ahmad Tholabi Kharlie.


Ia menyambut baik rencana pengembangan fungsi KUA menjadi tempat pelayanan bagi semua agama. Menurut Tholabi, esensi Kemenag sebagai organisasi negara yang melayani seluruh umat beragama dapat direalisasikan dengan rencana tersebut.
 

“Ini gagasan out of the box namun sangat rasional, karena sejatinya Kemenag adalah kementerian untuk semua agama. Dari sisi ide patut didukung oleh pelbagai pihak,” kata Tholabi di Jakarta, Ahad (25/2/2024).  


Kendati demikian, Tholabi menilai rencana tersebut harus terlebih dahulu dikonsolidasikan melalui berbagai aspek, baik secara regulasi, organisasi, maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM).
 

Tholabi berpendapat bahwa sejumlah aspek itu penting dikonsolidasikan untuk memastikan bahwa rencana tersebut dapat berjalan dengan baik. 


“Untuk merealisasikan gagasan tersebut, tentu sejumlah aspek seperti regulasi, organisasi, hingga SDM harus dibereskan terlebih dahulu,” terang Tholabi.


Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta ini menyebutkan, dari sisi regulasi secara eksplisit maupun implisit masih menempatkan pencatatan perkawinan di dua klaster, yakni pencatatan perkawinan untuk Muslim dan pencatatan perkawinan bagi non-Muslim. Soal regulasi ini, kata Tholabi, membutuhkan energi yang tidak ringan.


“Seperti di UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA),” urai Tholabi.
 

Pada bagian tersebut, Tholabi menilai akan adanya persinggungan dengan kementerian dan lembaga lainnya seperti dalam urusan koordinasi dan harmonisasi, baik dari sisi regulasi maupun pemindahan beban kerja antarinstansi.


“Jadi tidak sekadar urusan regulasi, tapi harus melakukan penyamaan persepsi antarkementerian dan pelaksana teknis di lapangan,” tutur Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) tersebut.


Sementara itu, ia menilai penyesuaian organisasi di internal kementerian, utamanya satuan kerja yang membidangi masalah Kantor Urusan Agama (KUA), yakni Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tidak begitu krusial.


“Saya kira, jika urusan internal organisasi di Kementerian Agama tidak terlalu rumit, tinggal reposisi dan membuat payung hukum saja,” jelasnya.


Ia juga menyoroti soal kesiapan SDM di lapangan yang mesti dilakukan dalam bentuk peningkatan kapasitas dan pengetahuan demi pelayanan yang prima kepada masyarakat.


“Soal SDM di lapangan juga perlu dipikirkan untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan. Mereka adalah garda terdepan dalam pelayanan di bidang keagamaan, khususnya soal pencatatan perkawinan,” pungkas Tholabi.