Nasional

Sarbumusi NU Bakal Lakukan Judicial Review UU Cipta Kerja

Selasa, 6 Oktober 2020 | 10:45 WIB

Sarbumusi NU Bakal Lakukan Judicial Review UU Cipta Kerja

Dengan demikian, Sarbumusi akan terus berjuang agar pasal 59 ini dimasukkan. Kemungkinan besar, dalam waktu dekat, akan melakukan judicial review terhadap pasal 59 yang tidak diakomodasi oleh pemerintah.

Jakarta, NU Online
Terhadap RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR pada Senin (5/10) kemarin, Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Nahdlatul Ulama menjadi salah satu bagian yang berjuang agar peraturan perundang-undangan itu dapat berpihak kepada rakyat, terutama buruh atau pekerja di Indonesia.


Wakil Presiden Dalam Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) K-Sarbumusi Sukitman Sudjatmiko mengungkapkan bahwa pihaknya yang bergabung di Tim Tripartit telah mengajukan pembaruan ke DPR. Ada beberapa substansi RUU Cipta Kerja yang sudah diusulkan untuk diperbarui namun ada yang tidak diakomodir di antaranya terkait dengan pasal 59 tentang outsourcing.


“Kesepakatan kita di Tripartit yang tidak dimasukkan ke dalam draf pembaruan pemerintah kemarin itu adalah pasal 59. Serikat pekerja dan Apindo sepakat pasal 59 ini dihidupkan kembali. Tapi Apindo minta kompensasi yaitu pasal 61 dihilangkan,” lanjut Sukitman.


Hal itulah yang oleh Sarbumusi sangat disayangkan bahwa pasal 59 tidak dimasukkan pemerintah menjadi salah satu pembaruan ke DPR. Padahal, lanjutnya, persoalan pasal 59 itu sudah menjadi kesepakatan di Tim Tripartit.


Dengan demikian, Sarbumusi akan terus berjuang agar pasal 59 ini dimasukkan. Kemungkinan besar, dalam waktu dekat, akan melakukan judicial review terhadap pasal 59 yang tidak diakomodasi oleh pemerintah.


“Ini sikap kita. Kita menerima tapi dengan catatan. Yaitu dengan catatan kenapa kesepakatan yang sudah ada itu tidak diakomodir? Padahal jantungnya serikat ada di sana. Makanya kita akan melakukan judicial review terkait pasal (59) itu,” jelasnya.


“Kenapa kita ngotot? Karena pasal ini tentang kontrak dan outsourcing yang berdampak pada keanggotaan serikat pekerja/buruh. Kalau pekerja banyak kontrak. Mereka jadi tidak mau berserikat,” tambahnya.


Selain itu, terkait dihapusnya pasal tentang outsourcing, persoalan ini sekarang dikembalikan kepada KUHAP Perdata. Kemudian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak juga dihapus beserta seluruh syarat-syaratnya.


“Nah ini dikhawatirkan seluruh pekerja hanya akan menjadi pekerja kontrak. Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pesangon juga dikurangi. Syarat-syarat PHK juga dihilangkan,” jelas Sukitman.


Namun sebenarnya, Sarbumusi juga mengapresiasi seluruh proses yang terjadi karena mau mengakomodasi berbagai usulan. Selanjutnya, Sukitman menjelaskan bahwa sudah dilalui proses yang panjang agar usulan soal pasal 59 itu masuk ke dalam pembaruan draf RUU Cipta Kerja. Khususnya Klaster Ketenagakerjaan.


“Kami menyayangkan itu. Harusnya antara serikat pekerja yang menjadi Tim Tripartit dengan serikat pekerja yang bersepakat dengan DPR bisa saling jaga. Kita di Tim Tripartit sudah mengawal substansi tinggal mereka (dua serikat yang keluar) untuk mengawal di DPR. Artinya kalau di pemerintah jebol kan di DPR masih ada yang mengawal,” tuturnya.


Selain itu, Sarbumusi juga menolak beberapa substansi permasalahan yang menjadi problem dari RUU Cipta Kerja itu. Menurut Sukitman, terdapat banyak aturan yang tidak sesuai dengan harapan para pekerja atau buruh di Indonesia.


“Dua hal itu kita tolak. Substansi dan proses yang tidak transparan,” lanjutnya.


Ia menambahkan, aturan soal Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bermasalah. Sukitman menerangkan bahwa persoalan yang biasanya diatur oleh Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).


“Tapi ini (keputusannya) hanya LPTKA dan IMTA tidak ada,” kata Sukitman.


Lebih lanjut ia menuturkan, bahwa iuran jaminan kehilangan pekerjaan dilakukan oleh pekerja dan pengusaha. Hal ini yang kemudian ditolak oleh Sarbumusi. Termasuk juga soal waktu kerja dan waktu istirahat saat jam kerja.

 

Perjalanan Sarbumusi Kawal RUU
Sukitman pun mengilas balik berbagai proses perjalanan perjuangan dalam mengawal RUU Cipta Kerja. Pada 12 Februari 2020 lalu, pihaknya dipanggil untuk bertemu dengan pemerintah di salah satu hotel.


“Pemerintah melalui Kemenko Perekonomian dan Kemenaker waktu itu memanggil kita di salah satu hotel untuk membahas RUU Cipta Kerja. Tapi di hari yang sama juga mereka (pemerintah) mengirimkan surat draf RUU Cipta Kerja melalui Surat Presiden ke DPR. Itu kami tolak,” kata Sukitman, kepada NU Online, pada Selasa (6/10) pagi.


Kemudian untuk mengakomodasi berbagai masukan, pemerintah membentuk Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit yang di dalamnya juga ada Sarbumusi. Tim LKS Tripartit itu terdiri dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Ketenagakerjaan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Serikat Pekerja/Buruh.


“Tim itu dibentuk untuk memperoleh masukan. Nah ketika kepanitiaan ini dibentuk maka mereka bekerjalah. Di tengah perjalanannya, ada dua serikat yang keluar dari Tim Tripartit yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) yang presidennya adalah Andi Ghani,” jelas Sukitman.


Tim Tripartit kemudian bekerja secara total dengan semaksimal mungkin sekitar dua minggu. Lalu mendapatkan dua kesepakatan. Terdapat beberapa hal yang diubah dan disepakati dari konsep awal. Sarbumusi pun menyepakati itu.


Sebagai informasi, hari ini hingga 8 Oktober 2020 nanti terdapat aksi mogok kerja nasional yang dikomandoi oleh dua serikat buruh terbesar di Indonesia. Pertama, KSPI yang dikomandoi Said Iqbal dan K-SPSI yang presidennya adalah Andi Ghani.


Terdapat sekitar dua juta buruh seluruh Indonesia secara serentak yang melakukan aksi mogok kerja nasional yang dimotori KSPI dan K-SPSI.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Muhammad Faizin