Nasional

Sektor Industri Halal Kini Bukan Cuma Jadi Perhatian Muslim

Senin, 11 April 2022 | 22:39 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam prosesnya industri halal mengalami perkembangan yang kompleks dan juga kini sudah menjadi perhatian global. Industri halal bukan lagi menjadi perseteruan ideologi ataupun peradaban, tetapi sudah menjadi perhatian setiap negara.


Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Asep Saepudin Jahar mengatakan hal itu pada Webinar G20: Kebangkitan Industri Halal Indonesia-Tiongkok yang diadakan oleh PCINU Tiongkok, dan Muslimat NU Tiongkok secara daring, Ahad (10/4/2022) siang.

 

"Maka itu pelabelan yang disebut halalan thayyiban yang disebut dengan perintah agama, bukan lagi menjadi konsumsi atau kebutuhan masyarakat Muslim. Tetapi dia sudah menjadi perhatian masyarakat non-Muslim," ujarnya.

 

Lebih lanjut Guru Besar Sosiologi Hukum Islam tersebut mengatakan apabila sudah dilihat menjadi kebutuhan dunia maka industri halal bukan dilihat lagi sebagai hal-hal yang bersifat eksklusif (doktrinal atau ajaran keagamaan), tetapi sudah menjadi kesadaran ekonomi, kesadaran sosial, dan kesadaran budaya.

 

"Itu menjadi penting, karena itu cara berpikir PCINU, NU, kemudian Ormas Islam Indonesia juga harus ke sana, bukan lagi menjadi hal-hal batasan agama," harapnya.


Menurutnya mengapa dahulu industri halal dilihat sebagai hal yang eksklusif atau fundamentalis, dikarenakan adanya Islamophobia yaitu kebencian atau ketidaksukaan dengan Islam. Selain itu juga Islam dianggap sebagai antimodernitas.

 

Ia menjelaskan juga bahwa dalam konteks Indonesia, industri halal ini merupakan sesuatu yang baru. "Di Indonesia baru mulai tentang pengakuan halal secara publik, dalam artian negara terlibat memfasilitasi itu baru tahun 1990 yaitu dengan lahirnya Bank Muamalat. Nah, itu pun masih tertatih-tatih waktu itu sampai sekarang," ungkapnya.

 

Hal yang menyebabkan Bank Muamalat tertatih-tatih dari dulu hingga sekarang dikarenakan mindset bahwa halal adalah bagian dari eksklusif keagamaan. Padahal di dunia barat sekarang ini industri halal bukan dilihat sebagai sesuatu yang ekslusif keagamaan, tetapi menjadi sebuah potensi.


"Potensi, resources, perhatian, dan pemikiran kita sudah perlu ke sana. Sekarang sudah mulai dilakukan, dan menjadi peluang untuk kita. Kalau negara manapun abai, maka dia akan ketinggalan peluang, ini adalah potensi aset," ujar pria yang mendapat gelar doktornya dari Universitas Leipzig Germany.


Ia menjelaskan bahwa industri halal merupakan potensi aset dikarenakan negara muslim dan masyarakat muslim terus berkembang. Mereka butuh hidup, butuh makan, butuh minum, butuh obat, butuh pakaian, butuh hiburan. Maka setiap negara meresponnya dengan menghadirkan sertifikasi halal.

 

"Jika negara menghadirkan sertifikasi halal, maka negara partner juga akan beradaptasi. Jika beradaptasi maka ini adalah potensi besar. Ini adalah tantangan global yang perlu direspon oleh setiap negara," pungkasnya.

 

Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan