Nasional

Selama UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 Berlaku, Pembatalan UKT Tak Selesaikan Masalah

Selasa, 28 Mei 2024 | 08:21 WIB

Selama UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 Berlaku, Pembatalan UKT Tak Selesaikan Masalah

Koordinator JPPI Abdullah Ubaid Matraji (Foto: Suci Amaliyah/NU Online)

Jakarta, NU Online
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyatakan pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh Mendikbudristek hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan masalah.


Koordinator JPPI Abdullah Ubaid Matraji menilai, pembatalan ini hanya sekadar upaya meredam aksi protes mahasiswa tanpa mengubah kebijakan fundamental yang mendasari kenaikan UKT.


Selama UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 tetap berlaku, lanjut Ubaid, semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Hal ini yang mengalihkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke pihak universitas dan menyebabkan tingginya UKT.


“Selama Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tidak dicabut dan PTN-BH tidak dikembalikan menjadi PTN, maka bisa dipastikan, tarif UKT akan kembali naik di tahun 2025,” ujar Ubaid Matraji melalui keterangan tertulis diterima NU Online, Selasa (28/5/2024).


Ubaid mengimbau agar mahasiswa terus menggelorakan protes terhadap kebijakan UKT yang dianggap tidak berkeadilan ini.


“Mahasiswa jangan merasa puas dan senang dengan pernyataan Mendikbudristek. Sebab, tahun depan akan kembali naik  dan mahasiswa lama juga dipastikan akan terkena imbasnya,” kata Ubaid.


Ubaid menyebut kebijakan pemerintah saat ini menunjukkan arah yang jelas untuk mempertahankan status PTNBH, yakni melakukan agenda komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. 


Hal ini berarti biaya pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tanggung jawab negara tetapi diserahkan pada mekanisme pasar.


"Anggaran pendidikan sebesar 665 triliun di APBN 2024 itu sangat mungkin dan leluasa untuk dialokasikan dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Tetapi perlu diketahui hal ini tidak mungkin dilakukan jika kebijakan pemerintah pro pada komersialisasi dan lliberalisasi pendidikan tinggi," jelasnya.


Ia menjelaskan, besaran anggaran APBN untuk pendidikan tidak mempengaruhi mahalnya UKT karena pemerintah tidak lagi menggunakan APBN untuk mensubsidi PTNBH. 


Sebelumnya, ketika masih berstatus PTN, pemerintah memiliki kewajiban untuk membiayai PTN agar terjangkau dan memperluas akses.


"Dengan status PTN-BH, kampus harus mencari pembiayaan mandiri dengan melakukan usaha-usaha profit. Salah satu usaha paling menguntungkan dan tidak mungkin merugikan kampus ada, berbisnis dengan mahasiswa melalui skema UKT ini," tandasnya.


Sebelumnya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, mengumumkan keputusan pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).


Keputusan tersebut menindaklanjuti masukan masyarakat terkait implementasi UKT tahun ajaran 2024/2025 dan sejumlah koordinasi dengan perguruan tinggi negeri (PTN), termasuk PTN berbadan hukum (PTN-BH). 


"Terima kasih atas masukan yang konstruktif dari berbagai pihak. Saya mendengar sekali aspirasi mahasiswa, keluarga, dan masyarakat," jelasnya selepas bertemu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta pada Senin (27/5/2024). 


Latar belakang
Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) diterbitkan sebagai dasar peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi PTN dan PTN-BH. 


Penyesuaian SSBOPT juga mempertimbangkan fakta meningkatnya kebutuhan teknologi untuk pembelajaran, mengingat perubahan pada dunia kerja yang juga semakin maju teknologinya, sementara SSBOPT tidak pernah dimutakhirkan sejak 2019. 


Kemendikbudristek dalam hal ini mendorong perguruan tinggi agar dapat memberikan pembelajaran yang relevan kepada mahasiswa. Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 juga menekankan dua hal utama yang menjadi pertimbangan dalam penentuan UKT, yakni asas berkeadilan dan asas inklusivitas.