Nasional

Tinggalkan yang Syubhat, Agama dan Kehormatan Jadi Bersih

Jumat, 17 Juni 2022 | 05:20 WIB

Tinggalkan yang Syubhat, Agama dan Kehormatan Jadi Bersih

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zakky Mubarak. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zakky Mubarak menuturkan bahwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita telah memperoleh petunjuk jelas mengenai jalan yang baik yang harus diikuti dan jalan yang buruk yang harus dihindari. Kebaikan dan keburukan, sesuatu yang terpuji dan tercela, halal dan haram telah diketahui secara gamblang.


“Namun begitu, dalam praktik kehidupan, kita jumpai juga hal-hal yang tidak jelas yang termasuk kategori meragukan atau syubhat, maka akan timbul pada diri kita keraguan dan ketidak tenangan,” ujar Kiai Zakky Mubarak dikutip NU Online, Jumat (17/5/2022) dari Facebooknya.


Dalam sebuah hadits, lanjut Kiai Zakky Mubarak, Nabi Muhammad menerangkan bahwa yang halal itu amat jelas, demikian juga yang haram. Di antara yang halal dan yang haram, dijumpai juga sesuatu yang meragukan, mungkin ia halal, mungkin juga haram, yang disebut syubhat.


“Sebagai seorang Muslim, selain kita meninggalkan yang diharamkan, diperintahkan juga untuk meninggalkan yang syubhat. Dengan demikian agama dan kehormatan kita menjadi bersih,” ujar Kiai Zakky.


Menurut Ketua Lembaga Dakwah PBNU periode 2010-2015 itu, syubhat akan menyeret seseorang pada sesuatu yang diharamkan, seperti seorang penggembala yang menggiring ternaknya ke daerah larangan. Maka dengan tidak disadarinya ternak itu akan melanggar daerah tersebut. Syubhat adalah sesuatu yang meragukan, setiap yang meragukan biasanya mendekatkan kepada keharaman.


Kiai Zakky juga menjelaskan, dalam diri seseorang terdapat kalbu, bila kalbunya baik maka baiklah diri orang itu, dan bila buruk maka buruk pula dirinya. Pada hakikatnya manusia itu tergantung pada hatinya, sebab ialah yang memberikan komando kepada semua anggota badan untuk berbuat atau tidak berbuat. Karena itu bila kalbunya baik, maka baiklah seluruh kegiatannya, dan bila buruk, maka keburukan akan mewarnai kehidupannya.


“Sesuatu yang syubhat sering dianggap enteng dalam praktik kehidupan umumnya umat manusia. Padahal banyak sekali orang yang terjerumus dalam kecelakaan, karena sesuatu yang dianggapnya ringan. Banyak yang mengira sesuatu dianggap ringan, padahal di sisi Allah adalah berat,” ucap dosen senior Universitas Indonesia (UI) ini.


Menurutnya, kalbu diibaratkan sebagai radar yang amat peka pada diri manusia, sehingga ia bisa mendeteksi keburukan-keburukan yang tidak nampak dan tersembunyi dalam bungkus-bungkus yang halus.


“Bahkan sekalipun fatwa telah disampaikan oleh seseorang, yang dianggap lebih mengerti dari dirinya. Karena fatwa itu tidak tepat, maka akan diseleksi oleh kalbu dan kemudian ditolaknya,” tandas Kiai Zakky.


Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Muhammad Faizin