Opini REFLEKSI HARLAH KE-92 NU (1)

Meneladani Semangat Ber-NU KHR Asnawi Kudus

Sabtu, 6 Januari 2018 | 01:30 WIB

Meneladani Semangat Ber-NU KHR Asnawi Kudus

KH Raden Asnawi Kudus.

Oleh M. Rikza Chamami

Salah satu pendiri jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal sangat dekat dengan KH Hasyim Asy'ari adalah KH Raden Asnawi Kudus (1861-1959). Kiai keturunan KH Mutamakkin dan Sunan Kudus ini sangat loyal dalam beraktivitas di NU.

Kiai Asnawi selama hidup tidak pernah meninggalkan prinsip-prinsip baku Ahlussunnah wal Jamaah. Terbukti dalam hal berjama'ah ditunjukkan dengan aktivitas keagamaan yang sangat lekat dengan tradisi ulama khas Timur Tengah dan Jawa. 

Bekal kombinasi ilmu Arab-Jawa yang didapatinya selama mencari ilmu diterapkan agar mudah dijalani oleh orang awam. Maka karya-karya yang ia lahirkan adalah berbahasa Jawa dengan tulisan pegon. Sedangkan karya berupa syi'ir dikarang dengan dua model: bahasa Jawa dan bahasa Arab.

Sedangkan dalam hal jam'iyyah, Kiai Asnawi tercatat dalam berbagai organisasi pra kemerdekaan semisal Sarekat Islam, Jam'iyyatun Nasihin dan Nahdlatul Ulama. Prakarsa mendirikan Nahdlatul Ulama selalu aktif dijalani hingga resmi berdiri tahun 1926.

Selama NU berdiri dan melaksanakan Muktamar, ia tidak pernah udzur mengikutinya hingga akhir hayat. Inilah yang patut dicatat oleh generasi muda saat ini. Kiai Asnawi wafat beberapa hari setelah pulang dari Muktamar ke-12 NU di Jakarta.

Ada empat pola semangat ber-NU yang dapat diambil dari kisah KHR Asnawi. Pertama, tidak pernah berhenti dakwah Ahlussunnah wal Jamaah walau dalam tekanan penjajah. Semangat beraswaja diteguhkan dengan mendirikan Madrasah Qudsiyyah pada 1919 dan mendirikan Pondok Pesantren Raudlatul Tholibin Bendan, Kudus tahun 1927. Termasuk Kiai Asnawi memprakarsai majelis pengajian Aswaja di berbagai daerah Kudus, Pati, Demak hingga Pekalongan.

Kedua, mengorganisasikan Aswaja dalam wadah Nahdlatul Ulama. Bahwa jama'ah yang sudah ada tidak dianggap sempurna tanpa organisasi. Maka berdirinya NU bagi KHR Asnawi adalah mutlak adanya dan harus berjuang memberantas paham wahabi yang merusak akidah Islam.

Perihal perjuangan melawan gerakan wahabi, Kiai Asnawi berada di barisan depan. Ini terbukti prasasti berdirinya NU tertulis di Masjid Aqsha Menara Kudus--atas prakarsa Kiai Asnawi dan KHR Kamal Chambali. Gerakan wahabi di Kota Kudus ia berantas dengan cara damai dan perdebatan hujjah agama versi Aswaja.

Ketiga, penyempurnaan jamaah dan jamiyyah dibingkai dalam cinta tanah air. Kiai Asnawi sangat peduli terhadap cinta tanah air dan kedamaian bumi Indonesia. Syair yang dikarangnya banyak mengarah pada bukti nyata kemerdekaan Indonesia adalah dengan rasa aman.

Dalam syair shalawat Asnawiyyah yang dikarang sebelum kemerdekaan tertulis: Indonesia Raya Aman. Ini menjadi bukti nyata bahwa rasa aman bernegara itu sangat penting untuk dijaga.

Salah satu bukti keamanan Indonesia bagi Kiai Asnawi perlu diperkuat rasa berislam dan bersejarah. Apa artinya? Islamnya harus benar patuh pada Aswaja dan mengerti sejarah bangsa. Bahkan Kiai Asnawi memuji prinsip demokrasi yang diusung oleh bangsa Indonesia.

Keempat, rasa saling sayang dan menghormati perlu ditanamkan dalam ber-NU. Boleh kita bayangkan saat awal pendirian NU, sarana transportasi dan komunikasi masih sangat manual. Tapi semangat para ulama terbangun baik karena saling sayang dan hormat.

Inilah hal-hal pokok yang dapat diambil dari pengalaman KHR Asnawi dalam ber-NU. Usia NU yang memasuki 92 tahun pada 2018 patut disambut dengan rasa sayang dan hormat. NU akan tetap jaya dan besar jika kita mau meniru cara-cara ulama dalam meneguhkan jama'ah dan jam'iyyah.

Penulis adalah Pengurus PW GP Ansor Jawa Tengah.