Fragmen

KH Wahid Hasyim, Potret Santri Milenial

Selasa, 15 Oktober 2019 | 09:00 WIB

KH Wahid Hasyim, Potret Santri Milenial

KH Wahid Hasyim. (Foto: Perpustakaan PBNU)

Era milenial ditandai dengan pola perilaku dan pola pikir yang berbeda seiring dengan perkembangan teknologi dan arus informasi yang pesat. Bahkan dalam dunia industri, karya dan produk berupaya disesuaikan dengan karakter generasi milenial yang salah satunya menyukai sesuatu yang serba cepat dan instan. Meski demikian, generasi milenial juga memiliki sifat kritis terhadap fenomena dan perubahan sosial dan bisa melakukan sendiri secara sekaligus sejumlah pekerjaan atau multitasking.

Budaya milenial tidak hanya merambah generasi dan komunitas tertentu saja, tetapi juga merambah santri sebagai elemen dan komunitas penting bangsa ini. Bahkan, santri telah sejak lama terbiasa dengan pola pemikiran dan kehidupan mandiri. Meskipun hidup mondok di pesantren, kehidupan santri tidak tercerabut dengan akar sosial masyarakatnya. Hal inilah yang membuat lembaga pesantren dibutuhkan perannya oleh masyarakat, termasuk ketika bangsa Indonesia jatuh-bangun berupaya melepaskan diri dari kolonialisme Belanda dan Jepang.

Karakter santri yang inklusif atau terbuka juga relatif mampu beradaptasi terhadap setiap perubahan zaman. Terbukti saat ini ketika santri tidak hanya mumpuni dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi juga menggeluti bisnis, mengembangkan industri pertanian, desain grafis, editing video, pembuatan jaringan online atau websitae, aplikasi android, startup, dan pengembangan media. Kritis terhadap perubahan sosial dan multitasking merupakan karakter penting dalam kehidupan para santri.

Santri yang sangat menonjol di era pergerakan nasional ialah KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953). Putra KH Hasyim Asy’ari ini tidak hanya memiliki jiwa organisatoris tinggi, tetapi mampu menangkap dan menyikapi perubahan zaman untuk memperkuat diplomasi dengan pihak penjajah. Dia juga ikut andil dalam merumuskan dasar negara Pancasila. Ia merupakan prototipe produk pesantren yang melampaui zamannya, pemikirannya cemerlang, mempunyai jiwa pemimpin, termasuk ketika harus bersilang pendapat dengan ayahnya sendiri dalam menyikapi perlawanan kultural terhadap penjajah.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, KH Hasyim Asy’ari dahulu pernah mengeluarkan fatwa haram untuk memakai semua identitas penjajah, termasuk pakaian. Jadi konteksnya melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah. Fatwa ini diambil Kiai Hasyim Asy’ari agar spirit perlawanan terhadap penjajah tumbuh di dada bangsa Indonesia, terutama para santri. Hal ini cukup efektif karena Belanda maupun Jepang dibuat kocar-kacir sehingga gerak-gerik kalangan pesantren disoroti betul oleh penjajah.

Pakaian yang dilarang oleh KH Hasyim Asy’ari untuk melakukan perlawanan kultural di antaranya celana, jas, dasi. Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga melarang pesantren untuk mempelajari ilmu-ilmu umum, tak terkecuali bahasa Inggris dan Belanda. Perlu dipertegas di sini bahwa konteksnya melakukan perlawanan kultural. Sehingga penting mendudukkan konteks saat itu ketika masyarakat melihat perkembangan zaman modern dan era milenial saat ini.

Tetapi, melihat perubahan sosial-masyarakat dan kondisi saat itu, KH Wahid Hasyim ingin mereformasi langkah yang sudah dibuat oleh ayahnya. Karena bangsa Indonesia tidak mungkin memahami gerakan-gerakan penjajah jika tidak mengerti bahasa mereka. Sehingga bahasa penjajah juga menurut Kiai Wahid Hasyim perlu dipelajari. Begitu juga dengan pakaian sebagai sebuah identitas. Untuk keperluan diplomasi, pakaian seperti celana dan jas penting dikenakan agar penjajah lebih bersikap terbuka karena secara kultural identitasnya dipakai.

Tidak ingin terlalu memperdebatkan pendapat anaknya, KH Hasyim Asy’ari justru merasa senang Kiai Wahid Hasyim memiliki progresivitas pemikiran sendiri. Karena langkah tersebut tidak hanya berhenti pada gagasan, tetapi juga dilaksanakan secara nyata, bahkan ketika Kiai Wahid berupaya melakukan diplomasi dengan Jepang untuk membebaskan Kiai Hasyim dari penjara.

Perjuangan melawan pendudukan Jepang bagi santri dan ulama pesantren tidak kalah sulit. Apalagi ketika salah satu guru para ulama di Jawa, KH Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang karena tuduhan mengada-ada. Kontak fisik dan senjata kerap terjadi, diplomasi dan perundingan terus dilakukan, sembari melakukan riyadhoh-rohani untuk meminta kekuatan, perlindungan, pertolongan Yang Maha Kuasa.

Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia. (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)

Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.” Ini menunjukkan sikap kritis Kiai Wahid Hasyim pada zamannya.

Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, Kiai Wahid Hasyim kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta Kiai Wahid bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda. Di daerah-daerah, beliau mempunyai anak buah dari kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan, jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.

Suatu hari, seorang Pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahukan kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa seorang petani bernama Husin minta berjumpa dengan KH Wahid Hasyim. Akhirnya kedua orang ini bertemu dan cukup lama mengadakan pembicaraan. Setelah petani itu pergi, Kiai Wahid memberitahukan kepada Kiai Saifuddin Zuhri bahwa petani tersebut tak lain adalah Tan Malaka, orang terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, guru Adam Malik dan Chaerul Saleh. (KH Saifuddin Zuhri, 2001: 274)

“Ente jangan lupa, Nabi kita Muhammad SAW pernah mengatakan, Al-Harbu Khid’ah, bahwa peperangan selamanya penuh dengan tipu muslihat.” Pernyataan tersebut dikatakan oleh KH Abdul Wahid Hasyim ketika membincang strategi perjuangan menghadapi penjajah Nippon atau Jepang dengan Konsul Nahdlatul Ulama wilayah Kedu, KH Saifuddin Zuhri pada tahun 1943.

Alakullihal, era milenial saat ini tidak bisa dihindari masyarakat. Namun kearifan para ulama sekaligus ajaran-ajarannya tidak boleh dilepaskan untuk memperkuat fondasi pemikiran dan akhlak sehingga generasi milenial tidak tergelincir oleh derasnya arus informasi. Karakter milenial yang multitasking dan kritis terhadap perubahan sosial perlu dipertahankan tapi juga tidak boleh kritis buta, yakni tanpa dasar dan tanpa kroscek mendalam sehingga yang muncul destruksi akal sehat dan kebencian.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon