Daerah

Gagal Panen Akibat Tak Dapat Pengairan, Petani di Pati Minta Pemerintah Buat Bangunan Irigasi

Rab, 26 Juni 2024 | 13:06 WIB

Gagal Panen Akibat Tak Dapat Pengairan, Petani di Pati Minta Pemerintah Buat Bangunan Irigasi

Kondisi padi mengering meskipun belum berisi di sekitar area persawahan Desa Dukuhmulyo, Kecamatan Jakenan, Pati, Jateng pada Rabu (26/6/2025). (Foto: NU Online/Solkan)

Pati, NU Online

Para petani di Pati, Jawa Tengah, memperoleh hasil panen yang merosot tajam alias gagal panen pada periode musim kedua tahun ini. Gagal panen ini akibat para petani tak mendapatkan pengairan untuk padi, padahal sawahnya bertipe tadah hujan.


Suhali, petani dari Desa Dukuhmulyo, Jakenan, Pati mengaku mendapatkan hasil panen yang merosot tajam dan bahkan gagal panen. Ia hanya memperoleh hasil sekitar 8 persen dari seluruh sawah yang digarap.


“Dari semua sawah (tiga petak setengah) hanya panen 12 karung. Kalau panen normal dapat 67 karung,” ujarnya kepada NU Online pada Selasa (25/6/2024).


Selain mempunyai beberapa petak sawah sendiri, Suhali juga menyewa sawah satu petak dengan sistem bagi hasil. Namun sawah hasil menyewa bagi hasil ini, gagal total panennya alias tidak panen sama sekali.


“Wah tidak panen ini. Sama sekali, blas. Sangat rugi,” katanya.


Ia mengaku, pada panen kali ini mengalami kerugian sangat besar karena hasil panen tidak mampu menutupi biaya tanam dan operasional.


Biaya tanam dan biaya operasional meliputi biaya pupuk, obat, dan perawatan sekitar Rp5-6 juta. Pada panen kali ini, ia hanya mendapat 12 karung atau sekitar Rp3,5 juta. Belum lagi ada tenaga fisik yang harus ia keluarkan untuk menanam dan merawat padi.


“Perkiraan (biaya tanam dan operasional) habis Rp5-6 juta, sedangkan hasil panen dapat 12 karung. Padahal satu kwintal laku Rp650 ribu. Itu (Rp650 ribu) harus dikalikan dulu (hasil panennya),” jelas Suhali.


“Biasanya (saat hasil panen normal) ditebaske (dijual kasar) dapat Rp7 juta dan Rp13,5 juta. Itu masih kotor (belum dikurangi biaya tanam, merawat, dan memanen),” tambahnya.


Tragedi gagal panen ini adalah kali keempat yang dialami Suhali sepanjang hidupnya selama ini.


"Sejak aku kecil, aku ingat-ingat terjadi empat kali,” kata Suhali.


Hal serupa dialami Hartono, tetangga Suhali. Pada musim panen periode ini, Hartono juga mengalami gagal panen atau hasil panen merosot tajam. Menurutnya, gagal panen terjadi karena sudah dua bulan tidak turun hujan.


“Panen kali ini gagal total karena tidak ada hujan selama dua bulan,” ungkapnya kepada NU Online pada Rabu (26/6/2024).


Ia mengeluhkan hasil panennya pada musim panen kali ini merosot tajam. Dari dua petak atau sekitar seperempat hektar luas sawahnya, hanya menghasilkan padi 17 karung. Padahal kalau musim panen normal akan menghasilkan sekitar 40 karung atau 2 ton 4 karung.

 

“Padahal saya nyedotke (mengaliri air ke sawah dengan mesin) satu jam Rp20 ribu. Padahal sehari saya nyedotke 7-8 jam, total Rp140 ribu dikali 5 hari,” ujar Hartono.


Meski begitu, ia berusaha agar panen kali ini tidak gagal total. Walau hasilnya sedikit, tetapi tetap bisa untuk bekal makan sehari-hari.


“Sebabnya saya butuh makan. Berharap jadi (padinya),” ungkapnya dengan nada pasrah.


Hartono berharap kepada pemerintah agar memperhatikan nasib para petani. Pemerintah bisa mencari solusi, waktu musim kemarau seperti ini.


Ia meminta pemerintah untuk membuatkannya bangunan irigasi agar walaupun tidak turun hujan tetapi petani tidak kekurangan air, sehingga mereka bisa tetap panen dan tidak tergantung pada alam.


“Semoga ada bangunan irigasi dari pemerintah, khususnya dari sawah saya sampai Bungasrejo (desa sebelah). Kami akan berterima kasih, apalagi kalau ada bendungan untuk wadah air. Sebab petani akan bahagia kalau air (untuk mengairi sawah) cukup,” tuturnya dengan raut wajah berharap.