Daerah

Krisis SDM dan Dana, Sekolah Komunitas Rumah Inklusif Kebumen Terpaksa Hentikan Operasional

Ahad, 1 September 2024 | 16:00 WIB

Krisis SDM dan Dana, Sekolah Komunitas Rumah Inklusif Kebumen Terpaksa Hentikan Operasional

Anak-anak di Rumah Inklusif Kebumen Jawa Tengah (Foto: NU Online/Naila Sabiluna Kamil)

Kebumen, NU Online
Rumah Inklusif Kebumen Jawa Tengah adalah wadah berkumpul bagi para keluarga yang dikaruniai anak-anak difabel di daerah Kebumen dan sekitarnya. Sejak tahun 2015, Rumah Inklusif menyelenggarakan sekolah komunitas nonformal yang saat ini terhenti akibat krisis dana dan sumber daya manusia.

 

Sekolah Komunitas Inklusif memfokuskan gerakan pendidikan nonformal untuk anak-anak difabel yang tidak bisa diterima di sekolah umum. Terlebih para difabel berat yang hanya bisa tersenyum jika disapa, tidak bisa duduk atau beraktivitas seperti anak-anak pada umumnya.


Pendiri Rumah Inklusif Nyai Muinatul Khoiriyah ingin anak-anak difabel diperlakukan sama sebagaimana anak-anak yang lain. Mereka juga harus bebas untuk memilih dalam kehidupan dan merdeka di setiap tindakan. Anaknya sendiri yang juga penyandang tunadaksa enggan belajar sekolah formal, merasa tidak nyaman karena acapkali dibedakan. Dengan adanya sekolah komunitas, ia ingin anak-anak di rumah inklusif lebih bebas ketika memilih untuk kehidupannya kelak seperti anak-anak yang lain. 


"Kami ingin selalu menyebarkan virus baik inklusif melalui kegiatan-kegiatan kami, menyampaikan bahwa inklusif itu nilai rahmatan lil'alamin, bahwa memanusiakan manusia itu penting. Sedih rasanya kalau ada orang tua yang anaknya terbelakang malah dipandang sebelah mata sama masyarakat, di-bully, bahkan sampai ada yang tidak diterima di sekolah. Maka dari itu kami mengadakan banyak program dan kegiatan yang bisa menunjang kelayakan hidup kami di rumah Inklusif, salah satunya program sekolah komunitas inklusif, " terang aktivis dan PP IPPNU era 90-an itu saat diwawancarai NU Online pada Jumat (30/8/2024). 


Nyai Iin, begitu sapaannya, menyayangkan keterpaksaan vakumnya program yang pernah aktif selama 3 tahun ini. Nihilnya sumber daya manusia berupa tenaga pengajar menjadi sebab utamanya. Dengan banyaknya dampak yang sangat baik dari program ini, Ia ingin segera mengaktifkan kembali bila terdapat tenaga pengajar lagi. 


"Salah satu program kami yang saat ini vakum karena kekurangan SDM adalah program sekolah komunitas inklusif. Ini adalah Program pendidikan untuk anak-anak penyandang disabilitas yang kebanyakan dari mereka tidak diterima di sekolah-sekolah. Dulu sudah berjalan 3 tahun, seminggu 3 kali. Dampaknya luar biasa, anak-anak yang tadinya tidak diterima sekolah bahkan di SLB, jadi bisa sekolah setelah mengikuti program ini. Ini kan program yang sangat baik, begitu berharga buat kami, dan ini harus segera dilanjutkan," ungkapnya. 


"Kemarin-kemarin sudah sempat jalan lagi, lah SDM tenaga pengajarnya mundur satu persatu, baik itu karena masalah klasik seperti menikah, punya anak, dan lain-lain. Ada juga yang datang ikut ngajar cuma sebentar, sekadar ingin belajar inklusivisme," lanjut Nyai Iin yang pernah mengemban amabah Ketua PC IPPNU Kebumen itu menerangkan alasan minimnya tenaga pengajar. 


Menurut Nyai Iin, alasan kedua vakumnya sekolah komunitas adalah minimnya biaya untuk tunjangan tenaga pengajar dan media pembelajaran. Selama ini, Rumah Inklusif dikelola secara mandiri tanpa adanya donatur tetap. Rencana sejak lama pemerintah untuk mendanai program pendidikan inklusif ini juga belum terealisasi hingga kini. 


"Masalahnya juga kami kan enggak ada biaya yang cukup untuk menggaji mereka, mungkin kalau kita ada, kita pasang tarif, segini begitu ya, sepertinya banyak yang mau ngajar. Sayangnya kami nggak ada itu dananya, donaturnya. Kami enggak punya donatur tetap, dikiranya juga kami dibiayai pemerintah, padahal enggak, belum," ungkapnya prihatin.


Nyai Iin berharap segera ada SDM dan donatur tetap, untuk menunjang berbagai kegiatan dan program Rumah Inklusif. 


"Kami berharap, ada lah yang mau jadi donatur tetap, mendanai bagian ini misalnya. Juga SDM, yang mau bantu-bantu di rumah inklusif atau mengajar di sekolah komunitas inklusif," harapnya. 


Kendala lain Rumah Inklusif 
Selain vakumnya sekolah komunitas nonformal, keluarga rumah inklusif juga mengalami kendala lain yang perlu jadi perhatian bersama. Banyak dari anggota Rumah Inklusif yang rumahnya di luar wilayah Kebumen. Mayoritas mereka juga berasal dari golongan tidak mampu dan penyandang disabilitas kelas berat. Saat ada kegiatan Rumah Inklusif yang jauh dari rumah, mereka terkendala batas kemampuan bergerak dan sulitnya akses transportasi. 

 

"98 persen Anggota kami itu golongan tidak mampu. Kebanyakan dari kami juga difabel yang berat dan menyebar di berbagai wilayah, seperti Purworejo, Banyumas, dan wilayah lain. Jadi kegiatan kami juga tidak terfokus disini saja. Kami sering mengadakan kegiatan di tempat-tempat wisata, membatik bareng di sana sekalian mempromosikan batik pegon. Tapi sayangnya banyak halangan yang membuat sulit berkumpul, termasuk enggak bisa banyak bergerak dan enggak ada transportasi," tutur Nyai Iin. 


"Karena kendala-kendala itu, anggota kami yang sampai tahun ini sudah ada 80 lebih tidak selalu bisa ikut kegiatan semua. Sering orang-orang itu menanyakan seberapa banyak anggota yang mengikuti kegiatan mereka kok melihatnya kegiatan yang sukses itu yang ramai, padahal bukan soal kuantitas seperti itu," lanjutnya. 


Nyai Iin menceritakan ada beberapa donatur yang menginginkan semua anggota Rumah Inklusi datang di tempat kegiatan. Mereka ingin melihat kondisi tiap-tiap difabel dan menyantuni mereka satu per satu. Tentunya permintaan itu tidak bisa terpenuhi karena adanya berbagai kendala tersebut. Rumah Inklusif juga memiliki daftar anggota prioritas saat ada yang dermawan yang akan memberikan santunan. 


"Kami juga enggak mau kalau kok yang dapat santunan hanya yang datang kegiatan, padahal yang tidak datang justru yang lebih perlu disantuni. Jadi kalau ada donatur yang kadang ingin semua anggota berkumpul, kami enggak bisa. Kalau mau donasi silakanlah dengan seikhlasnya. Pasrahkan pada kami, karena kami punya langkah prioritas," pintanya. 


"Ada di antara anggota prioritas kami dalam satu keluarga itu ada 3 orang yang terbelakang mental. Pemerintah selama ini tidak pernah memikirkan. Sudah kami sampaikan juga kepada pemerintah untuk dibantu, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan. Ya sudahlah daripada kita hanya berharap ke mereka, kita urus sendiri, kita manusiakan," tegasnya. 


Selain kendala terbatasnya gerak dan transportasi, Rumah Inklusif Kebumen juga mengalami kendala dalam pemasaran Batik Pegon. Menurut Nyai Iin, pemasaran Batik Pegon terkendala kurangnya minat masyarakat terhadap produk lokal. 


"Pemasaran Batik Pegon enggak terlalu bagus. Masyarakat enggak berminat sama produk lokal. Bahkan dulu waktu ada Kebumen Internasional Expo dan kita ada stand Batik Pegon di situ, yang lebih banyak beli itu malah orang luar daripada masyarakat sini," ujar Nyai Iin. 


Makna kemerdekaan untuk Rumah Inklusif 
Pada momen peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia, Rumah Inklusif selalu menyelenggarakan upacara bendera sendiri sejak tahun 2020. Bahkan anak-anak difabel turut menjadi petugas upacara tersebut.


Namun di tahun ini, Rumah Inklusif tidak lagi menyelenggarakan upacara. Hal itu dikarenakan para anggota Rumah Inklusif diminta untuk menjadi petugas dan panitia peringatan kemerdekaan di desa masing-masing. Ternyata, hal tersebut menjadi kemerdekaan yang sesungguhnya bagi anggota Rumah Inklusif.


Nyai Muinatul Khoiriyah mengungkapkan tujuan awal dari diselenggarakannya upacara. Melalui kegiatan itu, Rumah Inklusif ingin menjembatani dan mengkampanyekan nilai inklusivitas kepada masyarakat. Ia mengharapkan hilangnya batas-batas dan perbedaan-perbedaan yang seringkali dibuat-buat masyarakat terhadap keluarga difabel.


Tahun ini, apa yang ia harapkan tercapai. Anggota rumah inklusif mulai diterima di masyarakat. Banyak dari mereka yang diikutsertakan menjadi panitia peringatan kemerdekaan, bahkan menjadi petugas upacara di desanya masing-masing. 


"Tujuan awal kami mengadakan upacara itu sebenarnya kami ingin menjembatani nilai inklusivitas, menunjukkan kepada masyarakat kalau kami juga bisa, mampu untuk terlibat di masyarakat. Kami ingin masyarakat menerima dan menganggap kami sebagai manusia seutuhnya, dengan diikutkan kegiatan-kegiatan di masyarakat, di RT, di masjid-masjid," ujar Nyai Iin. 


"Alhamdulillah tahun ini, setelah 4 tahun berjalan kami telah sukses. Tujuan kami tercapai. Banyak dari kami yang jadi panitia dan petugas upacara kemerdekaan di desa masing-masing. Mendekati 17 Agustus 2024 kemarin, saya tanya mereka mau upacara apa enggak tahun ini? Mereka jawab: Waduh, saya sudah jadi petugas upacara di desa, Bu Iin. Ada lagi yang jadi Ketua Panitia tumpeng, juga banyak lagi yang jadi kepanitiaan lain," lanjutnya dengan bangga. 


Menurut Nyai Iin, hal tersebut merupakan proses panjang inklusivitas. Tidak adanya penyelenggaraan upacara di Rumah Inklusif tahun ini justru menjadi implementasi kemerdekaan yang sesungguhnya bagi anggota rumah inklusif. Mereka benar-benar merasakan euforia momen kemerdekaan, dengan dilibatkan kegiatan bermasyarakat dan tidak lagi dipandang sebelah mata. 


"Jadi memang inklusivitas ini butuh proses. Bagi kami penyandang disabilitas yang terpinggirkan, inilah kemerdekaan sebenarnya, saat kami dimanusiakan, diterima dengan layak oleh masyarakat dengan dilibatkan dalam kegiatan bermasyarakat. Bukan malah dipandang sebelah mata dan dianggap tidak mampu berbuat apa-apa," pungkas Nyai Iin. 


Sebagai informasi, jika masyarakat kehendak menyalurkan donasi atau berminat untuk membeli kain batik sebagai bagian dari membantu keberlangsungan Rumah Inklusif dan beberapa keluarga yang didampinginya, dapat menghubungi WhatsApp Bisnis Rumah Inklusif di nomor 081398605801.


Kontributor: Naila Sabiluna Kamil