Daerah

Orasi Kebudayaan Mahasantri Pesantren Luhur Ciganjur di Perayaan HUT Ke-79 RI, Berikut Teks Lengkapnya

Ahad, 1 September 2024 | 12:00 WIB

Orasi Kebudayaan Mahasantri Pesantren Luhur Ciganjur di Perayaan HUT Ke-79 RI, Berikut Teks Lengkapnya

Santri Pesantren Luhur Ciganjur, Nurul Hidayat menyampaikan orasi saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Masjid Mahallul Ghufron, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (30/8/24) malam. (Foto: NU Online/Achmad Risky Arwani)

Jakarta, NU Online
Seorang mahasantri Pondok Pesantren Luhur Ciganjur, Nurul Hidayat (Dayat) menyumbang orasi kebudayaan. Hal itu dilakukan saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Masjid Mahallul Ghufron, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (30/8/24) malam.

 

Dalam orasinya, Dayat mengajak para hadirin untuk introspeksi diri di tengah carut-marut situasi perpolitikan Indonesia saat ini. Ia juga mengingatkan agar masyarakat melibatkan akal budi serta hati nurani tiap akan mengambil keputusan.

 

"Peringatan darurat ini ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar mereka kembali melukai dirinya sendiri hanya karena ambisi para penguasa dan oposisinya sekaligus," tegasnya.

 

Dilanjutkan, setiap rakyat adalah penanggung jawab atas dirinya sendiri berikut kehidupannya. Pemerintah dan oposannya tidak berhak mengatur apalagi menguasai urusan rakyat kecuali berdampak baik bagi mereka. Oleh sebab itu, Dayat kembali mengajak hadirin untuk merenungkan arti kemerdekaan.

 

Selain itu, ia juga memperingatkan tokoh publik agar tidak mengatasnamakan rakyat terhadap kepentingan mereka. Sebagai pungkasan, Dayad menegaskan bahwa pekerjaan rumah belum selesai. Ia mengajak hadirin untuk mencari solusi-solusi atas permasalahan bangsa.

 

Berikut adalah teks lengkap orasi yang disampaikan pria yang akrab disapa Dayad tersebut:

 

Peringatan darurat ini ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar mereka kembali melukai dirinya sendiri hanya karena ambisi para penguasa dan oposisinya sekaligus.


Saudara sekalian.
Sejarah mengajarkan kita semua bahwa pertempuran-pertempuran, atas nama apa pun itu hanyalah medan yang akan digenangi darah masyarakat kecil layaknya kita semua, tanpa sedikit pun darah yang tumpah dari tubuh penguasa maupun oposisinya.


Bayangkan saja di sini teriak atas nama rakyat, di sana teriak atas nama rakyat. Di mana-mana bergema teriakan atas nama rakyat. Nyatanya yang terluka, yang menderita, bahkan yang terbunuh adalah rakyat sendiri. Para penguasa, berikut oposisinya, medianya, artis-artisnya, dan para petinggi lainnya, bersalaman saudara-saudara, duduk bersama atas alasan persatuan. Kita kan heran, siapa yang memecah, siapa pula yang ngajak bersatu?

 

Melihat kejadian itu, apa salahnya kemudian kalau kita berdiam diri saja dan membiarkan mereka berkelahi karena kepentingannya sendiri? Kenapa kita selalu mau dibujuk masuk ke dalam ring dan babak belur atas nama kepentingan mereka, sementara mereka bersorak-sorak dari kejauhan, bahkan tak jarang menyeringai dan cengengesan?


Toh pada akhirnya saudaraku, siapa pun yg memenangkan perang itu akan memaksa kita untuk percaya terhadap mitos-mitos yang mereka yakini. Kutanya: Sejak kapan demokrasi menjadi Tuhan tandingan bahkan kekuatannya menempati di atas kekuatan Tuhan yang Mahaesa? Dan sejak kapan yang melanggar demokrasi layak diasingkan dan dihinakan begitu saja? Memangnya berapa banyak yang terselamatkan ketimbang yg terbunuh karena demokrasi? Semuanya berhak menyakiti atas nama demokrasi? Kehidupan macam apa ini?

 

Menakjubkan bukan? Seakan kita tidak mampu menciptakan mitos sendiri yang lebih ramah dengan tatanan kehidupan kita, lebih murah ongkosnya, tidak mengancam kepunahan, tidak menyebabkan benturan yang mengatasnamakan tuhan-tuhan semu. Tahu apa kita rakyat kecil tentang demokrasi. Yang kita tahu hanya satu hal: kita ingin hidup dengan tanpa rasa takut, tanpa rasa sakit, dan tanpa rasa lapar. Itu saja. Mau kau tawarkan apa pun selain itu, katakan saja, kami tidak tertarik.


Saudara sekalian,

Apalah arti dari kemerdekaan jika pada akhirnya rakyat selalu menjadi umpan? Apalah arti reformasi bila rakyat harus mati? Saya tanya satu hal: Siapa yang sebenarnya menginginkan kemerdekaan Saudara-saudara? Siapa yang sebenarnya menginginkan reformasi Saudara-suudara? Kalau ini memang keinginan kita semua, mengapa yang terluka dan mati hanya kita-kita? Mengapa para petinggi yang ada di sini dan ada di sana sehat sentosa, malah tambah kaya?


Dan untuk sebuah ongkos yang mahal bagi tubuh yang mencucurkan darah, kepala yang bocor, tangan yang sobek, nama yang hilang, jiwa yang trauma akibat diperkosa, bahkan nyawa yang sampai melayang, kita bertanya-tanya, tagihan sebesar ini ditujukan kepada siapa? Puaskah keluarga mereka yang hanya disisakan gelar pahlawan untuk anak kesayangannya? Sementara penguasa terus menyakiti dan oposisi terus memprovokasi agar melawan atas nama demokrasi.


Saudara-saudara.
Kalau Tuhan memberikan kita kekayaan pikiran dan budaya, mengapa hanya sedikit orang yang menemukannya. Memang benar apa kata pepatah: Rumput tetangga selalu lebih hijau dibanding rumput sendiri. Dari sekian kayanya sebuah nilai yang dimiliki bumi pertiwi ini, orang-orang lebih memilih nilai dari luar negeri. Tidak Saudara, kita bukan bangsa penjiplak yang kalau datang Islam bukan sama Arab-Arabnya. Yang kalau datang teknologi, bukan sama Barat-Baratnya. Percayalah, kita memiliki nilai yang tak kalah bagusnya, yang bersahabat dengan tanah, air, udara beserta segala yang ada di dalamnya. Bodo amat bangsa-bangsa lain menganggap primitif dan terbelakang. Percayalah nilai mereka tidak lebih bagus bahkan tak jarang mematikan untuk kita. Lalu mengapa kita masih berjuang atas namanya?

 

Stoplah para artis, influencer, tokoh terkemuka semuanya, stop pengaruhi dan provokasi kami, rakyat kecil. Jangan mentang-mentang kau punya nama dan didengarkan banyak orang, kau jadikan itu kesempatan untuk menumbalkan kami. Sementara kau sendiri tambah adsense, tambah endorse, tambah penghargaan, dan kami yang kau provokasi lebam dan tak jarang terbunuh akibat provokasimu yang membawa kami ke tengah-tengah perkelahian.

 

Saudara sekalian, berdiam diri untuk situasi saat ini adalah solusi paling tepat dibanding ikut terlibat di tengah-tengah peperangan mereka yang sama sekali tidak menguntungkan dan malah mencelakai kita. Kalau ada orang yang mencibir dan menganggap kita tidak berjuang, tanyakan saja kepada mereka: Apakah kau siap terluka juga, tidak sekedar mengajak kami terluka, sementara kau pulang duluan dan meninggalkan kami berdarah-darah? satu lagi tanyakan kepada mereka, setelah kau provokasi kami agar terlibat dalam perkelahian kalian, siapkah menanggung tagihan yang jumlahnya tidak sedikit itu?

 

Kalau kau tanya apa alternatifnya, saya pun belum menemukannya. Tapi satu hal yg ingin saya ingatkan, semesta menciptakan kita bukan untuk terluka.

 

Itu saja unek-unek kebudayaan yang bisa saya bagikan Semoga mencerdaskan dan mencerahkan.

 

Wallahul mufaqif ila aqwami thariq, wassalam. Merdeka.

 

Sebelumnya, Dayat melantunkan Shalawat Asyghil sebelum membacakan orasinya.