Nasional

Humanitarian Islam, Bangunan Utuh dan Universal dari Fiqih Peradaban

Kamis, 12 September 2024 | 12:00 WIB

Humanitarian Islam, Bangunan Utuh dan Universal dari Fiqih Peradaban

Ketua PBNU Ahmad Suaedy. (Foto: NU Online/Suwitno)

Surakarta, NU Online

 

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Suaedy mengatakan bahwa humanitarian Islam adalah bangunan utuh dan universal dari fiqih peradaban.

 

"Humanitarian Islam adalah bangunan utuh dan universal dari fiqih peradaban. Fiqih peradaban lebih ke gerakan pengetahuan dan metodologis, sedangkan Humanitarian Islam lebih ke gerakan universal dan global," katanya saat memaparkan materi dalam Seminar Nasional Road to International Conference on Humanitarian Islam, di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah, Rabu, (11/9/2024).

 

Fiqih Peradaban, lanjut Suaedy, merupakan argumentasi metodologis fiqih dan ushul fiqih atas akomodasi terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), negara-bangsa dan status Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara total ke dalam paradigma Islam. Dalam waktu yang sama, fiqih peradaban juga menempatkan Aswaja sebagai pendorong dari praktik Syar'i. Karenanya, humanitarian Islam disebutnya sebagai bangunan utuh dan universal dari dasar-dasar fiqih.

 

Selanjutnya, humanitarian Islam juga dapat dikatakan sebagai upaya pencarian solusi dunia yang berbasis pada pengetahuan milik sendiri, tetapi juga mengakomodasi secara kritis terhadap khazanah lain di luar. 

 

"Humanitarian Islam adalah suatu usaha yang dilakukan oleh Gus Yahya dan kelompoknya untuk berkontribusi pencarian solusi dunia sejak sebelum menjadi Ketum PBNU," ungkap Dekan Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) tersebut.

 

Humanitarian Islam itu, lanjutnya, merupakan rangkaian dari proses pencarian tersebut. Mulai dari tahun 1984, Gus Dur pernah mengajukan istilah Pribumisasi Islam. Hal ini merupakan bagian dari pencarian.

 

Di era Kiai Hasyim Muzadi, muncul istilah Islam Rahmatan lil Alamin. Era Kiai Said Aqil Siroj muncul istilah Islam Nusantara. Sementara Gus Yahya memperkenalkan dua diskursus saling memperkuat yaitu Fiqih Peradaban (Fiqh al-Hadlarah) dan Humanitarian Islam (al- Islam li al-Insaniyyah).

 

"Itu semua saling berangkai, memperdalam, memperluas dan seterusnya. Humanitarian Islam punya karakter yaitu lebih universal dan global," tuturnya.

 

Suaedy lantas menyebut Humanitarian Islam ini sebagai lanjutan dan pengembangan dari diskursus dan upaya yang dilakukan oleh para Ulama NU sejak tahun 1984.

 

Ia menceritakan bahwa tahun 1984, NU memperkenalkan khittah 26. Adapun intinya antara lain mentransformasi kesejajaran antara Islam dan paham nation-state tentang kesetaraan manusia, warga negara tidak ada lagi supremasi Muslim atas non Muslim, dimana Pancasila sebagai dasar dan filosofi negara RI sebagai bentuk final. Sehingga Islam di dalam Aswaja tidak lagi mempermasalahkan eksistensi negara Republik Indonesia (RI) yang berbasis Pancasila dan bukan berideologi Islam.