Nasional

Ketua MK Terbukti Langgar Etik Berat, Bagaimana Status Putusannya? Ini Kata Pakar

Rabu, 8 November 2023 | 14:30 WIB

Ketua MK Terbukti Langgar Etik Berat, Bagaimana Status Putusannya? Ini Kata Pakar

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Pakar Hukum dari Universitas Lampung (Unila) Prof Rudy Lukman menyebut, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya sebagai ketua MK tak berdampak pada syarat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Sebab MKMK hanya memeriksa dan menyoroti etika hakim, bukan memutuskan keabsahan putusan MK terkait batas usia capres-cawapres. 


Diketahui, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik atas uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sesuai putusan sidang Mahkamah Kehormatan MK yang dipimpim Jimly Asshiddiqie.


"Secara hukum ketatanegaraan itu memang tidak mempunyai dampak secara langsung, karena ini adalah pengadilan etik. Artinya, MKMK tidak memutus soal apakah keputusan MK itu salah atau tidak, tapi (memutus soal) etika hakimnya dalam melakukan proses (putusan) itu," jelas Prof Rudy kepada NU Online, Selasa (7/11/2023) malam. 


Secara filosofis, lanjutnya, di dalam dunia hukum konstitusi dikenal prinsip judicial independence atau independensi peradilan. Prinsip ini mensyaratkan agar putusan peradilan tak mudah diubah. 


"Jadi prinsip judicial independence itu yang diketengahkan. Meskipun memang, dalam konteks legitimasinya (putusan tentang syarat capres-cawapres) akan berkurang karena kita mengetahui ada cacat etik dalam proses putusan itu," jelas Prof Rudy. 


Masih Bisa Digugat 

Profesor Bidang Hukum yang juga menjabat Ketua Lakpesdam PWNU Lampung 2018-2023 itu menegaskan bahwa putusan syarat usia capres-cawapres masih bisa digugat atau dilakukan uji materi kembali. 


Proses putusan MK tentang batas usia capres-cawapres yang cacat etik berdasarkan putusan MKMK ini bisa menjadi celah untuk melakukan uji materi. Sehingga, putusan MK tentang syarat capres-cawapres itu bisa dibatalkan. 


"Jadi harus dibatalkan dengan putusan MK juga. Yang putusan batas minimal usia capres-cawapres itu bisa dibatalkan dengan putusan MK juga," jelas Prof Rudy. 


Meski begitu, ia mengingatkan bahwa jika ingin melakukan uji materi kembali mengenai batas usia capres-cawapres tersebut, perlu disiapkan poin-poin argumentasi yang berbeda dari sebelumnya. "Harus ada poin-poin yang jangan sampai dianggap sebagai suatu perkara yang sama," katanya.


Prof Rudi menjelaskan, gugatan Almas Tsaqibbiru bisa dikabulkan oleh MK karena berbeda dengan gugatan-gugatan yang lama. Almas memunculkan satu klausul baru, yakni 'pernah menjabat sebagai kepala daerah'. 


"Jadi nanti pemohon harus jeli untuk bisa memohon kembali untuk bisa melakukan uji itu," katanya. 


Bagaimana soal pencawapresan Gibran?

Prof Rudy menilai, proses pencawapresan Gibran Rakabuming Raka masih bisa tetap lanjut tetapi dengan cacat etik, lantaran Ketua MK diputus sebagai pihak yang melanggar etik berat oleh Mahkamah Kehormatan MK. 


"Iya, artinya legitimasi itu berkurang. Putusan-putusan itu kan punya marwah ya. Legitimasi namanya. Legitimasi ini ditentukan oleh proses yang secara konstitusional dijaga oleh judicial independence. Tapi secara politik dan secara legitimasi, masyarakat yang melihat proses ini akan menjadi catatan," jelas Prof Rudy. 


Sementara itu, Dosen Hukum Konstitusi di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahsanul Minan menyatakan bahwa putusan MKMK tidak memiliki dampak terhadap putusan MK sebelumnya tentang syarat capres-cawapres. Namun, putusan MKMK ini bisa dijadikan bukti bagi para pihak yang akan mengajukan gugatan ke MK. 


"Namun bagi pihak-pihak yang saat ini sedang mengajukan gugatan ke MK terkait dengan putusan MK tersebut, tentunya bisa memasukkan putusan MKMK ini sebagai salah satu bukti pendukung terhadap gugatan mereka," terang Minan.