Nasional

Ketua PBNU: Ketetapan Negara atas Hilal adalah Sejarah Islam yang Tak Boleh Hilang

Jumat, 23 Agustus 2024 | 13:45 WIB

Ketua PBNU: Ketetapan Negara atas Hilal adalah Sejarah Islam yang Tak Boleh Hilang

Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) saat menyampaikan materi dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail Metode Penetapan Awal Bulan Hijriah di Aula Asrama Haji Embarkasi Banjarmasin, Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan, pada Kamis (21/8/2024). (Foto: NU Online/Aji)

Banjarmasin, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengatakan bahwa ketetapan negara (pemerintah Indonesia) atas hilal (itsbatul hilal) adalah bagian dari meneruskan sejarah Islam yang tidak boleh hilang. 


"Negara kita meneruskan praktik dari itsbatul hilal dari sejarah Islam. Ini untuk menjaga sejarah. Itsbat hilal dengan menggunakan rukyah yang ditetapkan oleh negara, tidak boleh hilang. Praktik itsbatul hilal oleh seorang imam adalah sejarah, dan tidak boleh hilang," jelas Gus Ulil. 


Gus Ulil menjelaskan hal itu dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail Metode Penetapan Awal Bulan Hijriah di Aula Asrama Haji Embarkasi Banjarmasin, Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan, pada Kamis (21/8/2024).


Gus Ulil mengatakan bahwa di dalam pendekatan ta'aqquli pada penetapan hukum Islam, terdapat pendekatan sejarah atau muraqabah tarikhiyah


Menurutnya, pendekatan sejarah penting untuk diulas karena ulama-ulama terdahulu sangat peduli dengan sejarah. 


"Pendekatan sejarah penting dan perlu untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa itsbatul hilal seperti yang kita pakai sekarang ini, secara sejarah itulah sebetulnya yang kita warisi dari zaman dahulu, berabad-abad," kata Gus Ulil. 


Ia menjelaskan, praktik sidang isbat sudah dipraktikkan sejak zaman Kerajaan Abbasiyah pada tahun 750 atau abad ke-8 masehi. Sejak itu, praktik sidang isbat sudah ada. 


Dahulu, proses penetapan hilal dimulai dengan iqrar atau pelaporan. Kalau ada orang melihat bulan, baik pada akhir Sya'ban atau akhir Ramadhan, maka orang tersebut harus datang kepada Qadhi atau hakim. 


"Di depan Qadhi ini, orang yang melihat bulan akan melakukan iqrar, yaitu memberikan penyaksian bahwa dia telah melihat bulan. Kemudian Qadhi, setelah melihat bukti-buktinya, dan memastikan orang yang memberikan iqrar ini adalah orang yang adil, maka diumumkan kepada seluruh penduduk bahwa ini adalah awal bulan," jelas Gus Ulil. 


Penetapan awal bulan hijriah, kata Gus Ulil, adalah wilayahnya seorang Qadhi. Pengumumannya dilakukan oleh al-wali atau raja atau penguasa. 


Setelah diumumkan, keesokan harinya dilaksanakan shalat Idul Fitri di masjid jami yang terletak di pusat kekuasaan ibu kota, lalu diikuti di wilayah provinsi.


"Imamnya, adalah juga imam wilayah, atau sulthan, atau gubernur, bupati, dari wilayah bersangkutan. Jadi memang penetapan idul fitri itu hak dari al-wali, penguasa," kata Gus Ulil. 


Ijtihad ahli hisab

Kalau ada ahli hisab yang mempunyai ijtihad berbeda dengan keputusan penguasa tetap diperbolehkan, tapi ijtihad itu hanya untuk dirinya dan dilarang mengumumkan untuk orang lain. 


"Karena kalau diumumkan, ini namanya pembangkangan politik. Tidak boleh, itu bisa dihukum dia. Wilayah itsbatul hilal adalah wilayah politik," katanya. 


"Sejarah kekhilafahan Islam ya begini. Abbasiyah, sampai Utsmani di Turki. Sampai Utsmani runtuh 1924. Jadi di dalam sejarah Islam yang ratusan tahun itu, praktik penetapan awal bulan ya seperti itu," tambah Gus Ulil. 


Akademisi UIN Antasari Muhammad Iqbal mengungkapkan bahwa penjelasan Gus Ulil sejalan dengan pendapat Syekh Arsyad Al-Banjari dalam Kitab Sabilul Muhtadin. 


Di dalam kitab itu, Syekh Arsyad menyatakan bahwa awal bulan qamariyah dilakukan dengan rukyatul hilal. Bagi orang yang memiliki kemampuan hisab tetap diperbolehkan tetapi hanya berlaku untuk dirinya sendiri, bukan untuk umum. 


Iqbal juga menjelaskan, di Kitab Sabilul Muhtadin diceritakan, ada seseorang yang membawa kabar bertemu dengan Nabi melalui mimpi bahwa besok adalah awal Ramadhan. 


"Kata Syekh Arsyad, kesaksian orang yang mimpi itu tidak bisa diterima. Bukan karena kita tidak percaya dengan orang atau mimpinya. Kalau di dalam mimpi itu, langsung ditolak," kata Iqbal. 


Sebab istinbath atau menetapkan hukum Islam merupakan sebuah keterampilan, baik individu maupun kolektif. 


"Kemampuan kita untuk menggali sumber-sumber hukum. Harus ada skill, ini karena khawatir hukum yang diambil itu tidak berdasarkan sumber yang cukup. Juga agar tidak menyalahi istinbath hukum sebelumnya," kata Iqbal. 


Ia mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memiliki keterampilan dan wawasan luas tidak diperbolehkan melakukan istinbath. 


"Kemudian harus memahami nas. Mustahil bisa melakukan istinbath tanpa melakukan itu. Di dalam istinbath ada unsur mantiq, logika. Karena istinbath harus punya koherensi logis dengan sumber-sumber keagamaan," pungkasnya. 


Sebagai informasi, Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail Metode Penetapan Awal Bulan Hijriah ini terlaksana atas kerja sama PBNU, Kementerian Agama RI, dan UIN Antasari Banjarmasin.