Nasional

KH Afifuddin Muhajir Terangkan Spirit Muharram sebagai Bulan Hijrah

Jumat, 12 Juli 2024 | 17:00 WIB

KH Afifuddin Muhajir Terangkan Spirit Muharram sebagai Bulan Hijrah

Rais Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir. (Foto: NOJ)

Jakarta, NU Online
Wakil Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Afifuddin Muhajir, menerangkan spirit Muharram sebagai bulan hijrah. 


"Hijrah yang dimaksud adalah perpindahan Kanjeng Nabi Muhammad saw bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah," jelas Kiai Afif kepada NU Online Rabu (10/7/2024) malam.


Adapun perintah hijrah tersebut dilakukan, katanya, lantaran Makkah bukanlah tempat yang kondusif untuk menjalankan dakwah Islam pada saat itu. Islam memerlukan negara untuk penyebaran agama dan pelaksanaan syariatnya, sementara di Makkah sudah ada pemerintahan.


"Rasulullah SAW tidak ingin menjadi pemberontak di Makkah. Oleh karena itu, ada instruksi dari Allah swt untuk hijrah meninggalkan kota Makkah menuju Madinah," jabarnya.


Kiai Afif, demikian ia karib disapa, juga menjelaskan bahwa perang yang diizinkan oleh Allah swt pada masa itu adalah untuk mempertahankan negara.


"Pada awalnya, perang sangat dilarang oleh Allah. Nabi berkali-kali minta izin untuk menghadapi musuh-musuhnya yang sudah sangat zalim, tetapi selalu diminta untuk bersabar. Kemudian setelah Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, barulah ada izin untuk melakukan perlawanan terhadap kekejaman itu," ungkapnya.


Menurut para ulama, sambungnya, perang yang terpaksa dan diizinkan oleh Allah swt adalah untuk mempertahankan negara, bukan untuk menciptakan sesuatu yang belum ada.


"Dengan adanya negara yang baru dibentuk oleh Nabi, Islam dengan cepat menjadi kokoh dan tersebar. Orang-orang mengakui kesuksesan Kanjeng Nabi sehingga mampu mengubah dunia dalam waktu yang sangat singkat," terang Kiai Afif.


Lebih lanjut, Kiai Afif menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw menjalankan dakwah Islamiyah selama 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari. Meskipun hijrah fisik seperti yang dilakukan Nabi Muhammad saw sudah tidak ada, esensi dan substansinya masih relevan.


"Hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan sesuatu yang tidak baik menuju yang baik, dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik lagi. Nabi bersabda setelah penaklukan Makkah tidak ada hijrah yang sesungguhnya," pungkas Kiai Afif.
Â