Nasional

Kontroversi Olimpiade Paris 2024, Pengamat Jelaskan Dinamika Sekularisme di Prancis

Jumat, 2 Agustus 2024 | 08:00 WIB

Kontroversi Olimpiade Paris 2024, Pengamat Jelaskan Dinamika Sekularisme di Prancis

Gambar hanya sebagai ilustrasi. Eiffel Tower Stadium. (Foto: olympics.com)

Jakarta, NU Online

Prancis menjadi sorotan dunia usai kontroversi yang tayang dalam upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024 yang dianggap menampilkan parodi Perjamuan Terakhir oleh para drag queen.


Prancis diketahui sebagai negara yang menganut ideologi sekularisme. Sekularisme merupakan paham yang berpendirian bahwa agama tidak dimasukkan dalam urusan politik, negara, maupun institusi publik.


Lantas, bagaimana membaca dinamika sekularisme di Prancis hari ini?


Pengamat Sosiologi jebolan Universite Paris Diderot Airin Miranda menjelaskan bahwa Prancis memiliki sejarah panjang revolusi melawan kekuasaan absolut dan monarkis.


Revolusi 1789 melahirkan semboyan Liberté, Egalité, Fraternité atau Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan. Hal ini bertujuan untuk memindahkan kekuasaan dari monarki ke tangan rakyat dan menjadikan negara bersifat sekuler.


"Kekuasaan yang berpusat para raja dan gereja dianggap tidak mewakili masyarakat banyak. Itulah yang melatarbelakangi revolusi yang menginginkan bahwa negara harus bersifat sekuler, terpisah dari agama dan demokratis," jelas Airin kepada NU Online, Rabu (31/7/2024).


Hal ini, lanjutnya, terlihat dari sistem pendidikan di Prancis yang netral dan kebijakan pemerintah yang tidak didasarkan pada agama. Simbol agama dilarang di tempat umum, memberikan kebebasan ekspresi agama secara individual di ruang privat.


Namun, Airin menilai bahwa dinamika sekularisme ini menjadi problematik dengan meningkatnya pluralitas masyarakat Prancis akibat imigrasi, subjektivitas penerapan sekularisme, dan gerakan ekstrem kanan yang anti-imigran.


Sementara itu, Islamolog Ayang Utriza Yakin menyoroti bahwa Prancis adalah negara sekuler berdasarkan Konstitusi Prancis Pasal 1 Undang-Undang Dasar (UUD) Prancis.


"Prancis bukan negara agama atau bahkan bukan negara yang mengakui keberadaan agama," jelas peraih master dan doktor sejarah dan filologi dari EHESS, Paris.


Dalam konteks sekularisme Prancis, agama bukan sesuatu yang suci dan sakral, sehingga tidak ada larangan terkait penghinaan agama.


"Dalam konsep Laicite ini, agama bukan sesuatu yang suci dan sakral yang harus dihargai," ucap pria yang dikerap disapa Riza itu.


Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Undang-Undang Prancis tahun 1881 dan 1905 telah menghapus hukum blasphemy, memperbolehkan penghinaan dan kritik terhadap agama.


"Dengan kata lain kebebasan berekspresi dalam berbagai hal termasuk di dalamnya seni, itu diperbolehkan," jelas Peneliti di SciencesPo Bourdeaux, Prancis itu.


Namun, undang-undang tahun 1972 melarang penghinaan terhadap penganut agama dengan hukuman satu tahun penjara atau denda 45 ribu Euro.


Menurut Riza, dalam konteks hukum Prancis, pembukaan Olimpiade Paris 2024 tidak bermasalah. Namun, ia juga mengakui adanya penafsiran sekularisme yang ofensif di bawah pemerintahan Emmanuel Macron, yang secara terang-terangan menyerang agama dan melarang kehadirannya di ruang publik.


"Laicite ofensif ini yang sedang dipakai oleh pemerintahan Macron tampaknya," ucapnya.


Menurutnya, sekularisme yang telah mengakar di Prancis muncul dari sikap kritis masyarakat terhadap hal-hal supranatural dan penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik.


"Masyarakat Prancis tidak benci terhadap agama dalam pengertian semua orang berhak mengimani, tetapi mereka kritis," katanya.


"Dalam kehidupan publik, agama tidak boleh mengatur kehidupan masyarakat atau negara, karena Prancis sudah punya riwayat peperangan ratusan tahun atas nama agama" tutupnya.