Nasional

Pakar Sebut Fenomena Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Jadi Tanda Demokrasi Sedang Bermasalah

Sabtu, 7 September 2024 | 15:00 WIB

Pakar Sebut Fenomena Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Jadi Tanda Demokrasi Sedang Bermasalah

Ilustrasi demokrasi. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Komisi Pemilhan Umum (KPU) RI mengumumkan bahwa terdapat 41 daerah yang hanya memiliki calon tunggal yang akan melawan kotak kosong pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 mendatang.


Jumlah itu berkurang setelah sebelumnya KPU memperpanjang masa pendaftaran pada 2-4 September 2024 dengan 43 daerah calon tunggal atau kotak kosong. Setelah diperpanjang, kini menjadi 41 daerah yang terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota.


Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Lampung (Unila) Prof Rudy Lukman menyebut bahwa kemunculan fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2023 mencerminkan masalah yang lebih mendalam daripada sekadar masalah prosedural soal kepemilihan masyarakat terhadap calon pemimpinnya.


“Fenomena kotak kosong ini bukan soal prosedural election, tetapi lebih kepada kematangan demokrasi secara substantif,” katanya saat dihubungi NU Online, Sabtu (7/9/2024) pagi.


Ia menilai bahwa ketiadaan kader yang diusung oleh partai-partai di banyak daerah menjadi tanda bahwa demokrasi di Indonesia sedang bermasalah atau tidak berada dalam kondisi yang baik.


Terlebih lagi, ia juga menyoroti sentralisasi kekuasaan oleh dewan pimpinan pusat (DPP) partai politik yang menguatkan fenomena ini.


"DPP yang sudah berkoalisi untuk misalnya jabatan menteri tertentu tersandera untuk mengusung calon tertentu dan bukan kadernya sendiri," jelas peraih gelar profesor termuda, pada usia 42 tahun itu.


Solusi cegah kotak kosong

Akademisi Hukum Tata Negara Lampung Iwan Satriawan memberikan memberikan perspektif alternatif mengenai fenomena kotak kosong agar dapat diatasi.


Menurutnya, salah satu solusi untuk mencegah terjadinya kotak kosong di masa depan adalah dengan memisahkan Pemilu berdasarkan wilayah.


“Sebagai solusi, Pemilu perlu dipisahkan berdasarkan wilayah. Artinya, Pilpres harus dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan DPR dan DPD, sedangkan Pilgub harus serentak dengan pemilihan DPRD provinsi. Demikian juga, pemilihan wali kota dan bupati harus serentak dengan pemilihan DPRD kabupaten/kota,” katanya saat dihubungi NU Online, Rabu (4/9/2024).


Ia berpendapat bahwa dengan melaksanakan Pemilu secara bersamaan, partai politik akan lebih aktif dalam melakukan kampanye untuk Pileg dan Pilkada, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah kotak kosong.


"Seiring dengan berjalannya waktu, langkah-langkah perbaikan dan penyesuaian mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa setiap daerah memiliki calon kepala daerah yang kompeten dan representatif," jelasnya.


Diketahui bahwa Undang-Undang (UU) Pilkada mengharuskan pasangan calon tunggal meraih lebih dari 50 persen suara untuk menang melawan kotak kosong, sesuai Pasal 54D UU Nomor 10 Tahun 2016. Jika mereka gagal dan kotak kosong akan menang, maka Pilkada harus diulang pada pemilihan serentak berikutnya.


Saat terjadi kekosongan jabatan, pemerintah pusat akan menunjuk ASN sebagai penjabat (Pj) kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 54D ayat (4) UU Pilkada.