Nasional

Pembangunan IKN dan Kontroversi yang Mengiringinya

Jum, 21 Juni 2024 | 18:00 WIB

Pembangunan IKN dan Kontroversi yang Mengiringinya

Proses pembangunan IKN. (Foto: BPI Setpres)

Jakarta, NU Online

Megaproyek Ibu Kota Negara sejatinya sudah dicanangkan sejak awal kemerdekaan Indonesia yaitu oleh Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957, saat itu Presiden Soekarno memilih Kota Palangkaraya yang berada di tengah kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.


Tahun berganti, tonggak kepemimpinan menjelma dari ide yang sama namun tempatnya berbeda. Presiden Soeharto zaman Orde Baru pada tahun 1990 sempat melirik Jonggol, Jawa Barat. Namun, tidak kesampaian, sampai dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mewacanakan IKN ini dengan alasan bahwa Provinsi Jakarta sudah tidak cukup menanggung beban sehingga perlu adanya pembenahan.


Alhasil, pemindahan ibu kota, baru serius digarap oleh Presiden Joko Widodo. Pada 29 April 2019, Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota keluar pulau Jawa dan dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Ibu kota baru tersebut dinamakan Ibu Kota Nusantara (IKN).


IKN Menyedot APBN

Namun, pemindahan ibu kota tak lepas dari kontroversi. Proyek pembangunan IKN awalnya direncanakan untuk didanai sebagian besar oleh investor, namun anggaran proyek yang mencapai sekitar Rp466 triliun tersebut mengalami perubahan.


Dari jumlah tersebut, sebesar Rp89,4 triliun akan disokong oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Rp123,2 triliun dari BUMN, dan sebanyak Rp253,4 triliun melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).


Hal itu memancing beragam reaksi publik, salah satunya datang dari Pengamat Ekonomi Amrullah Hakim mengharapkan agar megaproyek Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur bisa terus berjalan. Namun menurutnyaa, IKN tidak boleh sama sekali mengambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, jika mengambil dari APBN maka akan berdampak pada sektor lainnya.


"Pendanaan IKN sebaiknya tidak dari APBN, akan tetapi dari private investment (investasi swasta), juga termasuk asing. Jangan sampai pembangunan IKN membawa beban bagi sektor lain seperti pendidikan, keamanan, kesehatan. Ini sesuatu yang lebih penting. Tidak boleh pembangunan IKN mengambil sedikit pun dari APBN. Tidak boleh," kata Amrullah kepada NU Online, Kamis (13/6/2024).


Namun, ia mewanti-wanti agar megaproyek tersebut tidak dipaksakan. Sebab tidak bisa dikerjakan hanya dalam kurun waktu lima tahun. "Tentu kita membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk bisa membangun IKN ini mungkin 15-20 tahun. IKN harus terus jalan tapi jangan dipaksakan," katanya.


Polemik pengesahan UU IKN

Selain itu, polemik lain juga hadir dari Undang-undang (UU) IKN. Proyek IKN dimulai pada 2019 saat Presiden Jokowi mengusulkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR/MPR pada 16 Agustus 2023. 


Rencana ini tertunda setahun lebih akibat pandemi Covid-19 (2020-2021). Setelah itu, pembahasan RUU IKN dimulai di DPR pada akhir September 2021 dan disetujui menjadi UU Nomor 3 Tahun 2022 pada Januari 2022, meskipun Fraksi PKS di DPR menolak.


Belum ada investor

Masih terhambatnya minat investor asing untuk mendanai proyek IKN Nusantara di Kalimantan Timur menjadi perhatian serius. Beberapa waktu lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengakui bahwa pembangunan tahap awal belum selesai, yang menjadi alasan utama bagi ketidakpastian ini.

 

Sampai saat ini, Plt Wakil Kepala Otorita (OIKN) Raja Juli Antoni mengklaim sudah baru ada 45 investor yang melakukan groundbreaking di IKN.


"Hingga hari ini sebanyak 45 investor telah melakukan ground breaking," katanya melalui akun X resminya, @RajaJuliAntoni, Rabu (19/6).


Pengamat Ekonomi Amrullah Hakim mengungkapkan penyebab dari investor di IKN masih ragu mendanai megaproyek tersebut. Misalnya, belum adanya pemberian insentif pajak hingga regulasi yang cenderung berbelit-belit.


Padahal menurut Amrullah, Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investor tetapi harus diikuti dengan kesinambungan dalam pemerintahan dan kepastian hukum. Pentingnya pemerintahan baru Indonesia untuk mampu menjaga stabilitas negara, agar investor asing berminat untuk berinvestasi di IKN. 


DPR menolak berkantor di IKN

Kenyataannya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga masih enggan untuk berkantor di IKN. Bahkan, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengusulkan supaya pemerintah sepakat bersama DPR untuk memasukkan ketentuan atau kalimat yang menyatakan bahwa Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi kota legislatif dalam RUU DKJ yang kini tinggal menunggu pengesahan tingkat satu.


"Sekalian dibikin kekhususan bisa enggak misalkan di DKJ termasuk juga kekhususan menjadi ibu kota legislasi, parlemen. Artinya aktivitas parlemen bisa di IKN tapi pusat kegiatannya di DKJ," ucap Baidowi.