Opini

Hikmah Ibadah pada Masa Wabah 

Senin, 27 April 2020 | 23:00 WIB

Hikmah Ibadah pada Masa Wabah 

Selalu ada ruang yang tidak umum agar seorang mendapatkan intensitas dalam beribadah. (Ilustrasi: Romzi Ahmad)

Oleh Hasan Basri Marwah
 
Pada hari ketiga puasa tahun ini (26/04/2020), saat menjelang berbuka, adik saya di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, bertukar kabar soal suasana genting yang mulai terasa di sana. Nusa Tenggara Barat menempati peringkat ketujuh data korban nasional wabah Covid-19 nasional, dan kota Mataram adalah episentrum terbesar dari persebarannya.

Sebagian besar korban adalah dari kluster “Gowa”, yaitu sebagian dari mereka yang mengikuti “ijtima” internasional sebuah kelompok dakwah Islam pada awal Maret lalu, di awal “outbreks” wabah mematikan ini.

Tidak itu saja, kepekaan akan krisis (musibah dalam bahasa Islamnya) tidak juga tumbuh seiring drastisnya peningkatan korban wabah ini. Pelaksanaan ibadah berlangsung seperti biasa. Jumatan, tarawih, dan sejumlah kegiatan ibadah dilaksanakan seperti biasanya.

Imbauan pemerintah dan ormas keagamaan tidak terlalu mendapat perhatian berarti masyarakat. Apakah ini bentuk ketaatan atau kebebalan, sangat susah membedakannya.

Akhrinya, pembicaraan kami menjelang berbuka lebih banyak membahas soal pelaksanaan ibadah selama pandemik di sana. Menurut adik saya, banyak orang gelisah, hambar, dan tidak menentu karena tidak dapat melaksanakan ibadah secara normal, terutama shalat Jumat atau shalat berjamaah lima waktu.

Saya tegaskan kepadanya, bahwa seharusnya soal ibadah tidak dibahas lagi. Semua sudah klir. Bagi yang tidak mampu mengakses teks-teks keislaman, cukup mengakses imbauan yang dikeluarkan oleh organisasi kemasyarakat seperti NU.

Dalam masa pandemik, pelaksanaan ibadah seharusnya tidak menjadi masalah, terlebih di sebuah wilayah yang terkenal dengan keketatan tradisi Islamnya seperti Nusa Tenggara Barat, khususnya Kota Mataram. Masalah dampak koleteral pandemik ini, seperti dampak ekonominya bagi masyarakat, seharusnya menjadi perhatian utama.

Saya juga bercerita kepadanya tentang seorang sufi yang mengajar “pas “ di sebelah tembok Masjidil Haram. Tetapi sang sufi jarang masuk masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.

Ketika shalat berjamaah berlangsung, sang sufi masih mengajar atau mendirikan shalat berjamaah di rumahnya yang di sebelah tembok Haram itu. Cerita ini saya nukil dari salah satu bagian dalam Kitab Minhajul Abidin karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.

Pelajarannya, selalu ada ruang yang tidak umum agar seorang mendapatkan intensitas dalam beribadah. Kualitas ibadah dalam Islam tidak selalu dinilai dari aspek hiasan interiornya, aspek zahirnya, tetapi lebih pada intimasi dari hubungan seseorang dengan Allah SWT.

Di antara bentuk ruang-waktu intensif yang disediakan Gusti Allah bagi hamba-Nya adalah hari Jumat dan bulan Ramadhan. Pemuliaan terhadap keduanya adalah kewajiban agama.

Terkait kemulian hari Jumat, pelaksanaan shalat Jumat secara berjamaah di masjid salah satu saja dari bagian kemulian hari Jumat. Ketika ada sebab yang dibolehkan agama, maka kurang elok memperdebatkannya.

Terlebih, dari cerita adik, umumnya umat Islam bersedih karena tidak dapat melaksanakan shalat Jumat di masjid karena adanya persebaran pandemik ganas. Sementara yang dilarang agama adalah meninggalkannya karena kesengajaan, abai, dan remeh akan kemuliaan ibadah shalat Jumat.

Saya sangat maklum dengan kesedihan sebagian besar umat Islam di Nusa Tenggara Barat yang tidak bisa melaksanakan shalat Jumat secara normal karena mereka, seperti halnya umat Islam di daerah lain, masih melaksanakan ibadah shalat Jumat secara “hitam-putih” seperti panduan Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali.

Sampai hari ini, sebagian otoritas kampung atau dukuh melarang warganya berpergian, terlebih untuk kepentingan niaga pada hari Jumat. Dan hal yang masih ramai diamalkan warga pedesaan di NTB adalah “berpagi-pagi” (tabakkur) mendatangi masjid pada hari Jumat.

Menurut para alim di sana, meninggalkan kebiasaan “datang pagi-pagi” ke masjid adalah bentuk bidah pertama dalam sejarah Islam. Saya semakin yakin bahwa ini adalah penerjemahan paling letterleik dari pendapat Imam Al-Ghazali dalam Ihya’.

Hari Jumat adalah saat berintim ria dengan Gusti Allah. Dalam banyak kitab klasik disebutkan bahwa salah satu poin utama dalam memuliakan hari Jumat adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah sejak hari Kamis sampai hari Sabtu.

Disebutkan pula bahwa Hari Jumat dimuliakan karena pada hari inilah Allah menciptakan manusia sehingga para ulama lebih menekankan pada bagaimana manusia memuliakan hari Jumat secara lebih menyeluruh dengan cara memperbanyak ibadah.

Begitupun dengan bulan Ramadhan adalah ruang waktu terintim antara Allah dengan hamba-Nya. Dalam Kitab Al-Gunyah, Sultanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menguraikan bahwa tidak ditemukan pengertian harfiah (lughatan) dari “Ramadhan”.

Syekhul Akbar Ibnul Arabi dalam Kitab Futuhatul Makkiyah menyebutkan bahwa Ramadhan adalah salah satu dari nama Allah sehingga umat wajib memuliakan nama Allah ini dengan cara menambah intensitas peribadatan selama bulan Ramadhan. Di bulan ini Allah menegakkan sifat “Kemahamandirian-Nya” (Shamadiyyah) dengan cara menarik seluruh perhatian hamba-hamba-Nya kepada-Nya.

Ramadhan adalah ruang-waktu yang lebih intim antara Allah dan hamba-Nya dibandingkan hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan. Hal ini bisa dirasakan oleh semua orang, bukan tertentu. Kehadiran Allah terasa jauh lebih kental dan menyentuh hati dibandingkan pada bulan lainnya.

Bahkan disebutkan, puasa merupakan ibadah fardaniyah, personal, antara Allah dan hamba-Nya. Makan, minum, syahwat dan gosip (menggunjing dalam kosakata kitab klasik) adalah hal hal menyebabkan manusia lupa kepada Allah. Ketika semuanya dapat dikontrol oleh manusia, maka terjadi keintiman hubungan dengan Allah. Menurut ulama, inilah arti dari hadits qudsi, "Puasa itu millik-Ku dan Akulah yang mengganjarnya sendiri."

Adapun hikmah wabah pada bulan Ramadhan kali ini, umat Islam dipaksa keadaan untuk membuang semua bentuk komodifikasi keberislamannya. Tidak ada konsumerisme, tidak ada kehebohan suasana Ramadhan yang berlebihan seperti tahun-tahun lalu.

Umat Islam diminta kembali ke dalam perenungan personal. Artinya, berhadapan dengan diri secara lebih intensif adalah membuka hubungan lebih sejati dengan Allah. Hanya dengan menyaksikan kebesaran Allah lah egoisme manusia lebur-lantak. Tidak ada jalan lain. Kalaupun ada, tidak mudah dan jarang terjadi. 

Pengetahuan manusia tentang dirinya akan membawanya kepada pemahaman lebih luas tentang Allah SWT. Nilai ibadah seorang hamba lebih ditentukan oleh level pengetahuannya tentang dirinya yang otomatis meningkatkan pengetahuanya tentang Allah SWT, bukan oleh orkestrasi atau hiasan interior ibadahnya. 

Alangkah indahnya, jika halangan melaksanakan shalat berjamaah, shalat Jumat, dan tadarus berjamaah yang disebabkan oleh wabah, tidak diartikan sebagai ketakutan berlebihan kepada selain Allah (dalam hal ini wabah) atau dianggap sebagai pelanggaran syari’ah.

Halangan atau uzur itu diartikan sebagai pilihan pahit melaksanakan ibadah-ibadah tersebut secara sendiri atau di rumah adalah sebagai bentuk kehatian-hatian dan kerendahan hati seorang hamba yang tidak memiliki kekuatan dalam merenungi dan menerima kehendak Allah SWT. Walllahu 'alam.
 

Penulis adalah Lurah Pesantren Kaliopak, Piyungan, Bantul, Yogyakarta dan Pengurus Pusat Lesbumi.