Opini

Kepalsuan Nasab: Kajian Antropologis Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah

Kamis, 11 Mei 2023 | 14:45 WIB

Kepalsuan Nasab: Kajian Antropologis Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah

Ilustrasi nasab. (Foto: Freepik)

Kalau akhir-akhir ini kita menyaksikan di media sosial diskusi ilmiah antara KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani dan Ust. Hanif Al-Athos saling berbagi “bingkisan” dan “rengginang.” Maka anggap saja tulisan ini sebagai ‘gemblong’ yang dipersembahkan untuk seluruh rakyat Indonesia.


Sebelum menelaah apa yang ditulis Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya tentang kepalsuan nasab, saya terlebih dahulu membuka tulisan singkat ini dengan menjelaskan konsep mawali dalam ilmu mustholahul hadits, karena ini akan berkaitan dengan pandangan tulisan Ibnu Khaldun tentang kepalsuan nasab tersebut.


Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Nukhbatulfikar mencatat.


ومن المهم أيضا معرفة أسباب ذالك أي الألقاب ومعرفة الموالي من أعلى أو أسفل بالرق او الحلف او بالاسلام


“Dan termasuk hal yang penting diketahui dalam ilmu mustholah al-hadits adalah mengetahui gelar-gelar atau julukan-julukan dan mengetahui mawali dari atas atau dari bawah atau sebab perbudakan, sebab aliansi antara kabilah dan sebab Islam”.

 

Maksud perkataan Ibnu Hajar tersebut kurang lebih begini, mengenal gelar-gelar ulama seperti as-Syaibani, al-Hudzaili, al-Ju’fi dan lainnya itu sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu riwayat hadis. Dan di antara sebab-sebab terjadinya gelar atas seseorang itu bisa disebabkan karena mawali. Mawali ini bisa disebabkan karena perbudakan atau aliansi atau pengislaman.


Mawali kata plural dalam bahasa Arab. Kata tunggalnya mawla artinya tuan pemilik budak yang telah memerdekakan budaknya. Atau bisa bermakna budak yang telah dimerdekakan tuannya. Sebagai contoh; Zaid adalah budak Abdullah. Kemudian Abdullah memerdekakan Zaid. Maka Zaid disebut mawla Abdullah karena Zaid telah dimerdekakan Abdullah. Dan Abdullah disebut juga mawla Zaid karena telah memerdekakan Zaid.


Mawali yang dimaksud bisa disebabkan karena perbudakan adalah si fulan dinisbahkan kepada kabilah yang bukan kabilahnya. Hanya karena ada salah seorang dari kabilah tersebut yang telah memerdekakannya. Misalnya yang terjadi kepada Yaqut as-Syaibi, Mistqol al-Husaini, Anbar as-Syarifi. Sesungguhnya mereka itu (Yaqut, Mistqol dan Anbar) adalah budak-budak yang telah dimerdekakan tuannya masing-masing. Seperti Yaqut, ia adalah bukan dari Bani Syaibah, hanya saja karena tuannya yang telah memerdekakannya dari Bani Syaibah maka Yaqut kemudian dinisbahkan kepada Bani Syaibah menjadi dikenal di publik menjadi Yaqut as-Syaibi. Begitu juga yang terjadi kepada Mistqol dan Anbar (Syarhu Syarh Nukhbatulfikar, halaman 777). Dan tentu masih banyak lagi.


Kemudian mawla disebabkan karena adanya aliansi antara dua kabilah. Seperti yang terjadi kepada Imam Malik bin Anas, beliau murni dari kabilah Asbuhiy, tapi beliau juga disebut at-Taymi sebuah kabilah suku quraisy asli. Konon dulunya kabilah Asbuhi beraliansi dengan kabilah Tamim. Jadi disebut juga Malik bin Anas at-Taymi, tapi nisbah at-Tayminya karena “wila-an”.


Dan yang terakhir mawla disebabkan karena pengislaman. Seperti yang terjadi kepada Imam Bukhari. Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin al-Mughirah bin Bardizbah. Menurut al-Khotib Abi Bakr al-Baghdadi, Bardizbah ini beragama majusi dan meninggal masih dalam memeluk agama majusi. Sedangkan putranya yaitu al-Mughiroh diislamkan oleh Yaman bin Akhnas al-Ju’fi, seorang gubernur di kota Bukhara. Sehingga anak cucu dari al-Mughiroh dinisbahkan kepada al-Ju’fi. Dan Imam Bukhari dikenal sebagai al-Ju’fi, padahal Imam Bukhari orang Persia, sedangkan marga al-Ju’fi adalah kabilah Arab. Nisbah Imam Bukhari kepada al-Ju’fi ini “wila-an” sama dengan Imam Malik, hanya saja Imam Bukhari “wila-an fil islam”. (Imam Nawawi ad-Dimasyqi, Juz u min Syarhi Shohihilbukhori)


Inilah sekelumit pengantar agar bisa membantu memahami kajian antropologis Ibnu Khaldun tentang keterputusan nasab atau kepalsuan nasab.


Pemegang nasab

Pemegang nasab yang jelas hanya terdapat di dalam sekelompok kecil bangsa Arab yang hidup di alam liar, atau sebangsa mereka. Ibnu Khaldun menyebut mereka dengan sebutan al-Mutawahisyin, orang-orang yang hidup di alam liar. Seperti yang dialami Bani Mudhor dari suku Quraisy, Bani Kinanah, Bani Tsaqif, Bani Asad dan Bani Hudzail.


Mereka hidup di daerah yang kering dan tandus tidak ada pepohonan dan tanaman yang semua itu memaksa mereka hidup secara nomaden. Sehingga mereka tidak pernah menisbahkan dirinya kepada tempat yang mereka tinggali. Untuk mengenali salah seorang dari mereka harus dilihat dari kabilahnya, seperti Zufar al-Hudzaili misalnya. Beliau dari Bani Hudzail kabilah Arab asli. Pada kelompok ini nasab lebih jelas dan terjaga.


Berbeda dengan orang-orang Arab yang tinggal di daerah-daerah yang subur dan makmur dan hidup secara tetap tidak berpindah-pindah, seperti kabilah Khimyar, Kahlan, Ghossan dan Qodho’ah. Mereka hidup bercampur dengan orang-orang ‘ajam (non-arab) yang tidak menjaga nasab dan asal usul nenek moyang mereka. Kalau salah satu di antara mereka ditanya, maka dia menjawab saya dari kampung ini dan kota itu. Menisbahkan dirinya kepada tempat yang dia tinggali, bukan kabilahnya. Dan ini terus berlangsung sampai pada masa kejayaan Andalusia di Spanyol. Sehingga pernasaban menjadi kabur dan tidak jelas.


Dahulu pada masa awal-awal Islam nasab sangat jelas, namun setelah masa futuhat (penyebaran Islam) ketika bangsa Arab bercampur dengan ‘ajam, maka nasab secara umum menjadi bias dan tidak terjaga. Mereka lebih suka menisbahkan diri mereka kepada kota atau tempat yang mereka tinggali, semisal ad-Dimasqi (asli damaskus), al-Makki (asli makkah) dan seterusnya.


Sebab tercampurnya nasab atau bias nasab

Menurut Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya, gugurnya nasab seseorang dan melebur kepada nasab orang lain bisa disebabkan karena hubungan kekerabatan, atau karena persekutuan antara dua kabilah (al-hilf) seperti yang terjadi pada diri Imam Malik, atau karena wilaa, seperti yang terjadi pada diri Imam Bukhari.


Atau juga bisa terjadi karena sebab mencari perlindungan kepada kabilah yang lebih kuat secara sosial politik, sehingga kabilah yang memiliki power tersebut melindungi oknum-oknum yang terjerat masalah hukum yang kebetulan dari kabilah yang lemah. Dan oknum dari kabilah yang lemah tersebut mengganti gelar atau julukan marganya dengan marga yang lebih kuat secara sosial politik. Bahkan ada juga oknum-oknum yang mengganti marga kabilahnya dengan marga kabilah lain dengan tujuan agar mendapatkan keuntungan fulus. Itu terjadi dari generasi ke generasi.


Seiring dengan berjalannya waktu dan ahli nasab sudah jarang ditemui dan dalam waktu yang sama banyak orang-orang yang mengganti nasabnya untuk kepentingan yang telah dijelaskan tadi, disamping banyaknya bercampurnya bangsa Arab dan ‘ajam maka terjadilah proses pembiasan nasab secara alami.


Kerancuan nasab ini pernah terjadi pada masa Sayyidina Umar bin Khattab ra. Ketika beliau mengangkat Urjufah bin Hartsamah sebagai pejabat pemerintahan (wali) yang memimpin wilayah di mana mayoritas penduduknya dari kabilah Bajilah. Masyarakat kabilah Bajilah tersebut meminta kepada Sayidina Umar agar beliau tidak menjadikan Urjufah bin Hartsamah sebagai wali dari mereka.


Mereka menganggap Urjufah adalah pendatang bukan asli dari kabilah Bajillah. Dan kabilah Bajilah memohon kepada Sayidina Umar agar mengangkat Jarir sebagai pemimpin mereka. Kemudian Sayidina Umar mempertanyakan perihal tersebut kepada Urjufah. Dan Urjufah menjawab bahwa yang dikatakan kabilah Bajilah tersebut benar. Karena dia (Urjufah) mengaku  dari kabilah Azdi menyusup ke dalam kabilah Bajilah, sebab dia pernah punya kasus hukum dengan kaumnya dan lari ke kabilah Bajilah berkamuflase agar selamat dari tuntutan hukum yang menimpanya.


Maka saya katakan jika pada masa Sayyidina Umar bin Khattab yang masih sedikit jumlah manusia dan perkembangan kebudayaan zamanya saja sudah terjadi pembiasan nasab dan pemalsuan nasab. Lalu bagaimana dalam kehidupan kita yang sangat kompleks dan super multikultural. Apakah tidak terjadi pemalsuan dan ketercampuran nasab pada kehidupan kita hari ini? Saya sampaikan pertanyaan ini kepada mereka yang mengaku nasabnya tersambung sampai ke kanjeng Nabi Muhammad saw.


Jika terjadi kerancuan dalam ketersambungan nasab kepada kanjeng Nabi Muhammad saw, maka seseorang yang mengaku nasabnya nyambung sampai kepada kanjeng Nabi Muhammad tidak perlu membanggakan dengan nasab yang dia miliki, karena itu sesuatu yang belum pasti. Untuk membangun masyarakat Indonesia yang egaliter maka cukup kita kembali kepada konsep Imam Ibnu Athaillah bahwa ketersambungan seseorang kepada kanjeng Nabi harus dengan mutaba’ah, yaitu mengikuti seluruh aspek kehidupan kanjeng Nabi Muhammad, baik lahir maupun batin.


Kanjeng Nabi Muhammad saw bersabda, Salman adalah bagian dari kami yaitu ahlul-bait. Dan kita mengerti Salman adalah orang Farisi (Persia) bukan bangsa Arab atau keluarga baginda Rasulullah saw.


Sholehudin Muhtadi Longsir, Dewan Pengasuh Pesantren Asrarur Rafiah Babakan Ciwaringin Cirebon