Parlemen

Penanganan Dampak Covid-19, Komisi IX DPR: Tak Ada Negara yang Bisa Dicontoh

Jumat, 8 Januari 2021 | 07:45 WIB

Penanganan Dampak Covid-19, Komisi IX DPR: Tak Ada Negara yang Bisa Dicontoh

Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nihayatul Wafiroh. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nihayatul Wafiroh menjelaskan berbagai dampak akibat Covid-19 terhadap perekonomian dan pekerjaan di negeri ini. Ia juga menyatakan, Covid-19 ini dialami oleh seluruh lapisan masyarakat dunia.


Menurutnya, tidak ada satu negara atau lembaga mana pun yang bisa dicontoh dalam suksesi menghadapi dampak Covid-19 ini. Karena itu, lanjutnya, persoalan ini bukanlah hanya dialami oleh satu kelompok, individu, atau pemerintah Indonesia saja. Melainkan dirasakan dan dihadapi pula oleh seluruh negara di dunia.


“Kita memang harus berubah cara berpikirnya. Kalau saya melihat, cara pandang pemerintah sudah mengubah dari sisi kesehatan menuju ekonomi,” jelasnya dalam webinar bertajuk Luaran Perguruan Tinggi Agama dan Masa Depan Ketenagakerjaan di Indonesia bersama UIN Alauddin Makassar, pada Kamis (7/1) kemarin.


Sebab ia melanjutkan, seminggu setelah diumumkannya ada pasien 01 dan 02 di Depok, Jawa Barat, pemerintah langsung membentuk Gugus Tugas Penanganan Covid-19 yang dikepalai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. 


“Di situ kata kesehatan masih ada (banyak). Dalam artian memang landasan kebijakan adalah bagaimana untuk kesehatan masyarakat,” jelas Ninik, demikian sapaan akrabnya.


Namun beberapa bulan kemudian, penanganan Covid-19 berubah menjadi komite. Lalu yang semula adalah Gugus Tugas menjadi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang dikepalai bukan lagi oleh BNPB melainkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.


Hal tersebut menurut Ninik, fokus pemerintah sudah berubah yang semula adalah kesehatan menjadi ekonomi. Landasannya adalah soal meningkatkan perekonomian negeri ini akibat dampak Covid-19.


“Di komite itu hanya ada satu kata kesehatan yaitu menteri kesehatan. Ini menunjukkan bahwa kita memang dihantam luar biasa persoalan ekonomi,” ungkap politisi yang menggawangi isu kesehatan, kependudukan, dan ketenagakerjaan ini. 


“Oleh sebab itu, mau bergerak ke mana pun, kita pasti terbentur. Mau kita terkena Covid-19 langsung atau tidak pasti akan berdampak ekonomi,” tegasnya. 


Profil ketenagakerjaan di Indonesia


Dalam webinar itu, Ninik memaparkan data profil ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2020. Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk usia kerja di Indonesia ada sekitar 203,97 juta jiwa. Jumlah angkatan kerja sekira 138,22 juta atau 67,77 persen. Sementara penduduk yang bukan angkatan kerja 65,75 juta dan angkatan kerja baru hanya 2,36 juta jiwa. 


“Namun dari jumlah angkatan kerja ini, yang bekerja tidak seluruhnya (138,22 juta). Hanya 128,45 juta yang bekerja. Sementara tingkat pengangguran terbuka (TPT) ada 9,77 juta. Di Indonesia lebih banyak pekerja informal (60,47 persen) sedangkan pekerja formal ada 39,53 persen,” papar Ninik.


Dari persentase penduduk yang bekerja, ternyata pekerja dari lulusan SD menempati peringkat tertinggi yakni 38,89 persen disusul dari lulusan SMP (18,27 persen) dan SMK (11,56 persen). Sementara pekerja yang berasal dari lulusan sarjana hanya sekitar 9,63 persen dan lulusan diploma 2,70 persen.


Sementara itu, jumlah TPT terbanyak dari lulusan SMK 13,55 persen. Disusul SMA 9,86 persen, diploma 8,08 persen, sarjana 7,35 persen, SMP 6,46 persen, dan SD hanya 3,61 persen. 


“Padahal kalau kita melihat, SMK itu adalah lembaga pendidikan yang didesain dengan skill (keterampilan) luar biasa. Jadi masuk SMK, sudah dilatih agar memiliki skill seperti menjahit dan otomotif. Tapi ternyata yang lulusan SMK itu TPT-nya lebih tinggi,” ungkapnya.


“Hal ini tentu kita harus berpikir ulang, apa yang salah dengan pendidikan kita? Kenapa lembaga pendidikan seperti SMK, ternyata paling banyak pengangguran, dan ternyata yang sedikit pengangguran dari lulusan SD,” sambung Ninik.


Dampak Covid-19 terhadap tenaga kerja


Ketika Covid-19 datang, sekitar 29,12 juta orang terkena dampak pada penduduk usia kerja. Sedangkan 2,56 juta di antaranya menjadi pengangguran karena Covid-19. Lalu 0,76 juta orang bukan angkatan kerja karena Covid-19.Kemudian terdapat sekitar 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja dan 24,03 juta orang yang bekerja dengan pengurangan jam kerja karena Covid-19. 


Saat Covid-19 datang, Ninik mengaku berkunjung ke BPJS Ketenagakerjaan. Di sana, banyak masyarakat yang secara usia masih sangat muda, dengan terpaksa harus mencairkan dana-dana yang tersimpan karena kehilangan pekerjaan.


Sebab sebagian pekerja di Indonesia saat Covid-19, banyak yang dirumahkan. Sebagian lagi ada yang benar-benar mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), dan ada pula yang mendapat pengurangan jam kerja.


“Sehingga mereka mau tidak mau mengambil dana itu untuk berwiraswasta,” terang Pengasuh Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur.


Data jenis pekerjaan yang terdampak Covid-19


Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) RI pada November 2020, terdapat 10 jenis pekerjaan yang paling banyak terkena PHK. Di peringkat pertama adalah agen atau perantara penjualan dan pembelian sebanyak 10,1 persen. 


Pekerjaan di bidang tersebut terdampak lantaran penerbangan dan perjalanan transportasi umum dihentikan. Walhasil agen penjualan pun terpaksa menutup usahanya. Maka tak heran jika para pekerja di bidang ini sangat terdampak saat Covid-19 datang.


Pekerjaan yang terdampak Covid-19 serta mengalami PHK lainnya adalah pengemudi mobil, van, dan sepeda motor (7,3 persen), buruh pertambangan dan konstruksi (6,7 persen), tenaga perkantoran umum (6,7 persen), dan teknisi ilmu kimia dan fisika (5,6 persen).


Kemudian disusul dengan tenaga kebersihan dan juru bantu rumah tangga, hotel, kantor (5,1 persen), pekerja penjualan lainnya (4,5 persen), tenaga pengawas gedung dan kerumahtanggaan (4,5 persen), pekerja kasar (3,9 persen), serta industri pengolahan (3,9 persen). 


Sepuluh jenis pekerjaan paling banyak dirumahkan


Kemenaker juga merilis data sepuluh jenis pekerjaan yang paling banyak dirumahkan. Tertinggi adalah pekerja penjualan lainnya sekitar 17,1 persen. Lalu profesional penjualan, pemasaran, dan humas sebanyak 10,6 persen. Disusul buruh pertambangan dan konstruksi sejumlah 3 persen yang jumlahnya pun sama dengan pekerjaan mekanik dan tukang reparasi.


Kemudian disusul juga oleh pekerjaan pengemudi mobil, van, sepeda motor; operator mesin stasioner; tenaga perkantoran umum; serta teknisi ilmu kimia dan fisika sebanyak 2 persen. Terakhir, beberapa pekerjaan yang paling banyak dirumahkan adalah buruh transportasi dan pergudangan; tenaga kebersihan dan juru bantu rumah tangga, hotel, kantor sebanyak 1,5 persen.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad