Nasional

Hubungan NU dan MUI Dulu dan Kini Menurut Gus Yahya

Sabtu, 5 Desember 2020 | 07:45 WIB

Hubungan NU dan MUI Dulu dan Kini Menurut Gus Yahya

Katib Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menjelaskan hubungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam, termasuk dengan NU. Ia menjelaskan secara runut, sejak dulu hingga kini, soal peran dan kiprah MUI.


MUI sejak awal didirikan Presiden Soeharto sebagai instrumen untuk mengendalikan kelompok-kelompok Islam. Pemimpin totaliter itu melihat bahwa kelompok-kelompok Islam, terutama NU merupakan ancaman bagi stabilitas kekuasaannya.


“Didirikannya MUI untuk menetralisasi kepemimpinan-kepemimpinan kelompok Islam yang pada waktu itu banyak tidak tunduk kepada Soeharto,” kata Gus Yahya, sapaan akrabnya, dalam diskusi yang dipandu Hamzah Sahal dan disiarkan langsung melalui 164 Channel, Jumat (4/12) sore. 


Seiring berjalannya waktu, NU kian menjadi kekuatan paling besar karena menjadi pihak yang berseberangan kepada pemerintahan Soeharto ketika itu, alias oposisi. Karena itulah, pergerakan NU selalu ditekan oleh Soeharto. MUI punya peran penting di sini. 


“Nah sebaliknya, yang berkembang di kalangan NU, bahkan sebelum ramai-ramai ada Gerakan Pengawal Fatwa MUI itu, kalangan NU sudah sikapnya cenderung negatif kepada MUI. Karena melihat MUI sebagai pihak yang tidak bersahabat dengan NU,” jelas Gus Yahya.


Bahkan ketika Ketua Umum MUI dipegang oleh pemimpin puncak PBNU KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, NU belum bisa rukun sepenuhnya dengan MUI. Kiai Sahal pernah mengatakan, NU tidak wajib mengikuti MUI sekalipun Kiai Sahal sendiri sedang menjabat sebagai Ketum MUI.


“Itu yang beliau sampaikan pada waktu itu (ketika menjabat Ketum MUI),” lanjutnya.


Namun demikian, Gus Yahya tidak tahu sejak kapan MUI secara resmi dijadikan semacam platform untuk menghadirkan perwakilan dari berbagai ormas Islam. Ia sendiri mengaku tidak begitu mempelajari berbagai perubahan aturan yang terdapat di MUI.


“Saya hanya tahu bahwa dalam pemilihan, sekurang-kurangnya dua pemilihan Ketua Umum MUI yang terakhir, dipilih oleh Dewan Formatur yang di dalamnya ada unsur-unsur perwakilan dari berbagai macam ormas Islam yang ada,” tutur Gus Yahya.


Apakah hal itu berarti MUI menjadi semacam melting port (tempat berlabuh) bagi ormas Islam? 


Dari segi persepsi, sikap, dan attitude berbagai ormas Islam yang ada di Indonesia, Gus Yahya melihat tidak ada satu pun ormas Islam yang menganggap MUI sebagai tempat untuk membuat kesepahaman atau konsensus di antara mereka. Tidak ada pula yang menganggap MUI sebagai tempat menyatukan kepemimpinan di antara ormas-ormas Islam. 


“Saya melihat bahwa persepsi dari masing-masing ormas Islam ini masih melihat MUI sebagai atau semacam wahana untuk mendapatkan berbagai sumber daya, sumberdaya politik maupun finansial,” katanya.


Kini, hampir semua pengurus harian dan dewan pertimbangan MUI didominasi oleh pengurus aktif PBNU. Gus Yahya, dengan nada bercanda, mengatakan bahwa barangkali MUI kualat kepada NU atau sebaliknya, NU yang kualat kepada MUI. 


“Karena dulunya MUI ini memang dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menekan NU, dan NU cenderung diperlakukan secara negatif oleh pihak MUI sendiri sekian lama pada zaman dulu. Nah tiba-tiba sekarang kita lihat, kepengurusan MUI didominasi oleh orang-orang NU,” terangnya.


Lalu apa konsekuensinya? Apakah NU bisa menggunakan MUI sebagai wahana untuk mendominasi ormas-ormas Islam yang lain?


“Saya sendiri tidak yakin karena memang tidak ada persepsi untuk membuat konsensus di dalam MUI itu sendiri. Bahkan, Pak Haedar Nashir Ketua Umum Muhammadiyah juga tidak masuk dalam MUI,” ungkap Gus Yahya.


Tapi yang jelas, lanjutnya, persepsi dari ormas-ormas Islam itu menolak jika harus tunduk dengan MUI. Termasuk PBNU yang sementara ini masih bersikap sama terhadap MUI. Bagi orang NU, MUI sekadar tempat untuk mendapatkan sumber daya dan mungkin sebagai saluran untuk berusaha mempengaruhi opini publik, dan berbagai macam kebijakan pemerintah.


“Tapi untuk membuat NU taat kepada MUI, pada titik ini saya kira tidak,” tegas Gus Yahya.


Lalu bagaimana mereka membagi peran antara tanggung jawab di MUI dan tanggung jawab di PBNU? Apakah setelah menjadi fungsionaris di MUI mereka masih akan tetap bisa aktif seperti sebelumnya, di PBNU?


“Di MUI itu lebih banyak sumber daya daripada NU. Sedangkan juga tidak etis jika membawa berbagai sumber daya dari MUI ini ke dalam NU untuk dimanfaatkan ke dalam NU. Ini sebenarnya adalah sesuatu yang masih serba tabu dan tentu ada dinamika yang terjadi,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad