Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Muktamar NU Tetapkan Ketinggian Hilal untuk Penentuan Waktu Ibadah

Kamis, 23 Desember 2021 | 20:30 WIB

Muktamar NU Tetapkan Ketinggian Hilal untuk Penentuan Waktu Ibadah

Sidang Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU Kamis (23/12/2021). (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU membahas ketinggian hilal dalam penetapan awal bulan. Komisi ini mengangkat pembahasan ketinggian hilal karena berkaitan dengan masalah penetapan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawwal, dan juga bulan Dzulhijjah.


Komisi Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU yang digelar di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah, memutuskan bahwa imkān ru’yah menjadi syarat penerimaan kesaksian ru’yah sebagai premis awal untuk penentuan awal bulan.


Jika sekurang-kurangnya lima metode falak qath‘i (yang meyakinkan) menetapkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat (di bawah ufuk), maka ketetapan tersebut menjadi acuan dalam menolak kesaksian ru`yatul hilal. Pendapat ini memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dalam penentuan awal bulan hijriyah.


Dengan demikian, ketika menurut Ilmu Falak hilal berada di bawah ufuk, maka hukum aktivitas ru’yatul hilal tidak lagi fardhu kifayah atau sunnah karena aktivitas ru’yatul hilal bertujuan untuk memastikan terlihatnya hilal. Sedangkan hilal menurut hisab tidak mungkin terlihat.


Adapun ketika hilal menurut Ilmu Falak berada di atas ufuk dan dipastikan terlihat, tetapi tidak seorangpun menyaksikan hilal dan ketika bulan berjalan digenapkan (ikmāl) akan mengakibatkan bulan berikutnya berumur 28 hari, maka Ilmu Falak dapat digunakan sebagai acuan dalam menafikan ikmal.


Penetapan ketinggian hilal di atas ufuk sebagai penanda imkan ru’yat bertujuan untuk mengakurasi penetapan awal bulan awal Ramadhan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah yang sangat terkait dengan kepentingan ibadah.


Adapun penetapan awal bulan berdasarkan ikmāl yang berpotensi menjadikan bulan berikutnya hanya berusia 28 hari juga terjadi di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan Lajnah Falakiyah PBNU.


Pada penetapan awal Jumadil Akhir pada 1438 H, posisi hilal berdasarkan penghitungan falak berada pada ketinggian 7° 08' s/d 8° 51'. Namun demikian, hilal tidak terlihat di hampir seluruh Indonesia karena tertutup awan. Oleh karena itu awal Jumadil Akhir 1438 H ditetapkan jatuh pada 1 Maret 2017 atas dasar ikmāl.


Kemudian pada Selasa 28 Maret 2017 terdapat laporan ru`yah di Condrodipo, Gresik, hilal berada pada ketinggian 3° 17' dan di Pelabuhan Ratu pada ketinggian 3° 27'. Laporan tersebut diterima dan ikmāl bulan Jumadil Ula dibatalkan.


Hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa berdasarkan penghitungan falak, hilal pada ketinggian tertentu dapat menjadi acuan dalam menentukan apakah bulan berusia 29 hari atau 30 hari. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Sudibyo dalam kurun tahun 2007 sampai dengan 2009 yang menunjukkan bahwa pada ketinggian dan usia tertentu, hilal dapat dilihat (imkān al-ru`yah) dan pada ketinggian dan usia yang lain hilal tidak dapat atau sulit dilihat.


Berdasarkan penelitian Sudibyo tersebut posisi hilal dapat diklasifikasikan ke dalam empat posisi. Pertama, hilal mustahil di-ru’yah, yaitu ketika menurut penghitungan falak hilal berada di bawah ufuk dan karenanya usia bulan terdiri atas 30 hari.


Kedua hilal pada ketinggian tertentu sangat sulit mendekati mustahil di-ru`yah.


Ketiga, hilal pada ketinggian tertentu mudah diru`yah dan jika diikmāl tidak mengakibatkan bulan berikutnya hanya berusia 28 hari.


Keempat, pada ketinggian tertentu bulan mudah diru`yah, tetapi jika diikmāl akan mengakibatkan bulan berikutnya hanya berusia 28 hari.

 

Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Kendi Setiawan