Nasional

Rais Aam: Secara Implisit, Dalil Maulid dan Haul Sudah Dijelaskan Al-Qur'an

Jumat, 15 November 2019 | 19:00 WIB

Rais Aam: Secara Implisit, Dalil Maulid dan Haul Sudah Dijelaskan Al-Qur'an

Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar hadiri Haul Masyayikh Pondok Pesantren A’isyatul Wahidah Turi Maduran Lamongan, Jawa Timut, Kamis (14/11) (Foto: M Sholeh)

Lamongan, NU Online
Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar mengatakan mengatakan bahwa sebenarnya di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara implisit menerangkan tentang diperbolehkannya memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. 
 
Di antaranya adalah Surat Maryam ayat 15 yang bunyinya
وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
 
Artinya, Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.
 
"Kalau kita pahami, ayat tersebut adalah sebuah penghormatan dari Allah Swt kepada Nabi Yahya bin Zakariya pada saat itu, lalu mengistimewakannya dengan salam sejahtera untuknya. Maka Allah Swt berfirman Wa salāmun 'alaihi yauma wulida wa yauma yamụtu wa yauma yub'aṡu ḥayyā. Artinya Allah Swt memberikan ucapan selamat, salam kesejahteraan atau penghormatan atas kelahiran Nabi Yahya. Bukan hanya penghormatan saat lahir tapi juga saat kewafatan dan saat Nabi Yahya dibangkitkan atau dihidupkan lagi kelak di hari kebangkitan semua manusia," terang Kiai Miftachul Akhyar saat memberikan taushiyah dalam acara Maulid Nabi dan Haul Masyayikh Pondok Pesantren A’isyatul Wahidah Turi Maduran Lamongan, Jawa Timut, Kamis (14/11).
 
Kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah anugerah teragung yang Allah Swt berikan kepada alam semesta, ketika umat manusia mengalami krisis spiritual dan moral yang luar biasa. Karenanya, perayaan Maulid Nabi semestinya bukan hanya sekedar tradisi tahunan dan seremoni belaka.
 
Tetapi lebih dari itu, kata Kiai Miftach, selain merupakan representasi kecintaan kepada manusia terbaik, peringatan maulid juga diharapkan menjadi referensi untuk meneladani sikap dan perilaku Rasulullah Saw, sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai cerminan pribadi Muslim.

"Ironisnya, masih banyak kalangan yang tidak setuju dengan adanya perayaan kelahiran Nabinya. Mereka mengatakan bahwa perayaan kelahiran Nabi adalah bid’ah karena tidak ada dalilnya. Oleh karena itulah, penting bagi kita untuk menjelaskan hakikat perayaan maulid beserta dalil-dalil yang membolehkannya kepada mereka yang membid’ahkan," ujarnya.
 
Dalam kegiatan yang sekaligus seremonial peresmian gedung baru SMK Model A’isyatul Wahidah, Kiai Miftachul Akhyar mengutip ayat lain dalam surat Maryam yang berbunyi: 

وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

"Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘alaihissalam), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali." (QS. Maryam: 33).

"Maksud kalimat 'Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku' adalah keselamatan dari Allah kepada Nabi Isa as. Kemudian kalimat 'pada hari aku dilahirkan' adalah keselamatan ketika dilahirkan dan menjalani hidup di dunia. Kemudian kalimat 'pada hari aku meninggal' maksudnya di alam kubur. Sedangkan kalimat 'dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali' maksudnya adalah ketika di akhirat. Karena sebagaimana semua manusia, Nabi Isa as. juga pasti akan melewati tiga fase ini, yaitu hidup di dunia, mati di alam kubur, lalu dibangkitkan lagi menuju akhirat. Dan, Allah memberikan keselamatan kepada beliau di semua fase ini," terang Kiai Miftach lebih lanjut.

Dari dua ayat d iatas, lanjut dia, bisa disimpulkan bahwa Allah memberikan ucapan saat hari kelahiran Nabi Yahya dan Nabi Isa (Maulid) dan juga ucapan saat beliau berdua wafat, yang dalam tradisi Nahdliyin biasa disebut dengan haul. 

"Benar, dua ayat diatas adalah dalil perayaan maulid dan haul dari para Nabi. Lantas kita juga harus mengetengahkan bukti atas diperbolehkannya melakukan peringatan haul para ulama. Salah satu ayat yang bisa dijadikan bukti dan dalil adalah ayat lain dalam surat Maryam yang bunyinya, 'Ważkur fil-kitābi maryam, iżintabażat min ahlihā makānan syarqiyyā', yang artinya 'Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur." (QS Maryam: 16)," kata Kiai Miftach.
 
"Perintah ‘ceritakanlah’ dalam ayat di atas maksudnya adalah ceritakanlah kisah-kisah sejarah Siti Maryam kepada semua orang. Maka salah satu cara menceritakan sejarah tersebut adalah bisa dengan memperingati (haul)nya. Kita tahu bahwa Siti Maryam adalah seorang waliyyah (wali wanita) yang agung. Bukan seorang nabi atau rasul karena persyaratan nabi dan rasul adalah seorang laki-laki sebagaimana ajaran Ahlussunnah. Saya kira ini sudah bisa menjadi dalil diperbolehkannya merayakan peringatan haul para wali atau ulama karena lewat haul kita akan memperoleh cerita-cerita, kisah-kisah, atau manaqib dari seorang tokoh panutan yang bisa kita warisi," tuturnya melengkapi taushiyahnya. 
 
Walhasil, merayakan maulid Nabi dan para ulama, serta haulnya adalah upaya yang sangat baik untuk meningkatkan ekspresi kecintaan terhadap sang manusia terbaik. Kecintaan terhadap para ulama sebagai waratsah al-anbiya’. Maka kalau ada orang atau kelompok yang menuding bahwa peringatan maulid atau haul adalah bi’dah, maka sejatinya ucapan merekalah yang bid’ah.
 
 
Kontributor: Mohammad Sholeh
Editor: Kendi Setiawan