Cerpen

Depresi

Ahad, 14 Juli 2024 | 09:45 WIB

Depresi

Ilustrasi (Freepik)

Cerpen: Ahmad Zaini
Mat Teguk bertelanjang dada. Dia berdiri menantang terik siang sambil mengepalkan tangan ke atas. Mat Teguk berteriak-teriak mengeluarkan kata-kata sampah, kata-kata jorok yang tak pantas didengar orang. Dia mengumpat, menghujat, bahkan memukul orang yang mencoba mendekatinya.


Matahari siang sangat terik. Panasnya seakan membakar kulit. Namun, panas matahari seperti itu tak berlaku buat Mat Teguk. Lebih panas hatinya lantaran gagal dalam pencalegan. Dia melepas baju lalu mendongakkan wajah dengan sesumbar akan membuat orang-orang di sekitarnya menyesal karena tidak memilihnya. 


Mat Teguk kalap. Dia kecewa berat lantaran merasa dibodohi tim sukses. Bagaimana tidak. Mat Teguk sudah berjuang mati-matian untuk memuluskan jalan menuju gedung dewan. Dia menempuh segala cara untuk mencapainya. Dia menaruh harap kepada tim sukses untuk mencarikan suara buat dirinya. Dia juga yakin dapat meraup suara terbanyak berdasarkan amplop yang telah disebar oleh tim sukses ke beberapa daerah untuk memilih dirinya. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan harapan. 


Mendengar umpatan Mak Teguk, orang-orang tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya melintas dan sedikit-sedikit melirik ke arah Mat Teguk. Mereka sadar bahwa Mat Teguk mengalami depresi akibat kekalahan itu hingga tidak mampu menguasai diri. Mata Mat Teguk melotot. Dahinya berkerut. Geriginya gemeretak setiap melihat ke arah orang-orang yang lewat. Dia seperti harimau melihat daging segar. Ingin menerkam kemudian menyantap mangsanya.


Mak Tiyem-istri Sukarman-menjadi korban. Ketika pulang dari pasar, kepala Mak Tiyem kena timpuk Mat Teguk. Saat itu Mak Tiyem belum mengerti kejiwaan Mat Teguk sedang tidak baik-baik saja. Dia mengira masih Mat Teguk seperti yang dulu. Sosok baik dan pemberani yang selalu berpihak pada masyarakat kecil. Dia sangat vokal dan kritis. Setiap ada ketidakberesan di desanya atau di mana saja, Mat Teguk selalu menjadi orang terdepan untuk mengatasi ketidakberesan itu. Lebih-lebih Suto. Kepala desa di tempat ia tinggal saat ini. Suto selalu menjadi langganan ’amukan’ Mat Teguk. Suto dianggap tidak beres dalam mengelola dana bantuan di desa yang dipimpinnya.

 

Mat Teguk merasa layak menjadi wakil rakyat. Dia merasa mampu menjadi pendobrak kebobrokan pemerintahan di daerahnya. Muncullah desas-desus Mat Teguk akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Para warga dan orang-orang terdekatnya juga mendukung niatnya. Akhirnya, Mat Teguk resmi mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. 


Mat Teguk mulai bergerak. Dia membentuk relawan yang diberi nama Sahabat Mat Teguk di mana-mana. Tim inilah yang dipercaya oleh Mat Teguk mampu melancarkan jalannya menuju kursi legislatif.

 

Di dunia ini tidak ada yang gratis. Semua butuh dana. Para tim sukses juga minta bayaran. Mat Teguk menyadarinya. Dia menggaji tim suksesnya mulai dari pembentukan tim sampai pelaksanaan pemilihan nanti. Mat Teguk royal. Berapa pun uang yang diminta tim sukses selalu diberi. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia mau berjuang mati-matian mencari suara untukku, katanya dalam hati.

 

"Jangan asal beri, Mat. Ditanya dulu keperluannya. Untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan kampanyemu?" 


"Aku percaya pada mereka. Aku yakin mereka akan menggunakan uang itu untuk memperjuangkanku."

 

Dua minggu menjelang pelaksanaan pemilihan, para tim sukses Mat Teguk silih berganti datang ke rumahnya. Mereka minta uang untuk ini dan itu kepada Mat Teguk. Saking percaya pada timses berapa pun uang yang diminta selalu diberi. Hingga suatu sore dia sadar bahwa uang di brankas rumahnya sudah menipis. Sementara para anggota tim sukses jelang pemilihan semakin gencar melakukan penggalangan dukungan dan membutuhkan dana banyak untuk memenangkan Mat Teguk. 

 

"Man, jualkan pekarangan ini ke Pak Tambiyo," perintah Mat Teguk.


"Jangan, Mat. Itu satu-satunya pekarangan yang tersisa. Ingat masa depan keluargamu," kata Sukarman mengingatkan Mat Teguk.

 

"Telanjur. Dijual saja. Jangan mengkhawatirkan masa depan keluargaku. Kalau aku sudah jadi, tidak butuh waktu lama pekarangan-pekarangan itu akan kembali.”


"Itu kalau terpilih. Kalau tidak terpilih bagaimana?” bantah Sukarman.


”Kamu ini masih meragukan aku. Famili macam apa kamu ini? Lihat tim sukses saya. Banyak sekali. Tiap hari berapa orang yang datang ke rumah. Dapat dipastikan aku akan meraup suara paling banyak di daerah pilihan ini.”

 

”Ya, sudah kalau begitu. Jadi dijual nggak pekarangannya?”

 

”Jadilah. Cepat ke Pak Tambiyo!” 

 

Sukarman berangkat ke rumah Tambiyo. Dia pergi ke juragan tanah itu dengan langkah berat. Mat Teguk mungkin lupa saat pilkades di desanya. Dia gagal total gegara dibohongi oleh orang-orangnya. Berapa ratus juta uang yang tidak sampai ke sasaran. Uang tersebut malah digunakan boregnya untuk berfoya-foya. Untuk kepentingan pribadi para tim sukses, gerutu Sukarman dalam hati. Semoga tidak terulang, harapnya.

 

Rumah Mat Teguk dipenuhi para tim sukses. Mereka menunggu kepastian dana dari Mat Teguk. Para timses tidak berani pulang sebelum uang yang dijanjikan Mat Teguk berada di genggaman mereka. Wajar sekali itu. Di rumah masing-masing mereka juga ditunggu orang-orang yang namanya sudah dicatat sebagai pemilih Mat Teguk. Kalau pulang tidak membawa uang seperti janji yang telah disampaikan, mereka bisa-bisa sampai rumah digebuki orang-orang sekampung.


”Bagaimana Pak Mat? Ini sudah tiga jam menunggu,” tagih salah satu tim sukses.

 

”Sabar! Sebentar lagi Sukarman datang,” jawab Mat Teguk.

 

Baru saja Mat Teguk menjawab pertanyaan tim suksesnya, Sukarman datang dengan membawa uang satu tas hasil menjual pekarangan Mat Teguk. Namun, dia tidak langsung menyerahkan uang tersebut kepada Mat Teguk di depan para tim sukses. Sukarman menyeret Mat Teguk ke dalam. Ada sesuatu yang perlu dibisikkan kepada Mat Teguk.


”Mat, pekaranganmu hanya dibeli juragan Tambiyo 500 juta. Padahal, harga umumnya 700 juta. Kalau kamu setuju dengan harga segitu, uang ini bisa langsung kamu terima. Kalau tidak mau, disuruh mengembalikan lagi.”


”Tidak apa-apa. Itu mereka sudah menunggu uang ini,” kata Mat Teguk.

 

Sukarman menyerahkan uang tersebut kepada Mat Teguk. Dia hanya dapat melihat dan menelan ludah sendiri karena tidak mendapat bagian dari uang itu. Mat Teguk langsung memberikan uang itu kepada para tim sukses seusai dengan jumlah pemilih di wilayah masing-masing. Mat Teguk tidak membutuhkan waktu lama. Tidak sampai lima belas menit uang penjualan pekarangan itu ludes dari tas rangsel yang dibawa Mat Teguk. Para tim sukses berpamitan setelah menerima dana dari Teguk.

 

Malam hari jelang pelaksanaan pemilihan wakil rakyat, suasana di rumah Mat Teguk ramai sekali. Banyak orang bertamu di rumahnya untuk memberikan doa dan dukungan lisan kepada Mat Teguk.


”Jangan hanya mendoakan saja, coblos gambarku di bilik besok pagi.”

 

”Insyaallah, Mat.”

 

”Jangan insyallah, jawab pasti gitu.”

 

”Oke!” kata salah satu tamu.


Mat Teguk semakin yakin lolos ke gedung wakil rakyat. Amplop yang telah disebar jumlahnya sudah dua kali lipat dari suara minimal yang dibutuhkan Mat Teguk. Mat Teguk membayangkan dirinya sebagai anggota dewan.

 

Orang-orang di wilayahnya akan semakin segan terhadapnya. Derajatnya akan naik dua kali lipat daripada sebelumnya. Belum lagi kesejahteraan hidupnya. Pasti akan semakin melimpah lantaran nominal tunjangannya sangat fantastis. Rumah megah dan mobil mewah akan terwujud tidak sampai satu tahun. Sawah dan pekarangannya yang terjual juga akan kembali lagi.


”Mat Teguk, Mat Teguk. Otakmu itu seperti otak udang. Dibodohi orang mau saja. Para tim sukses yang kamu elu-elukan ternyata mendua. Mereka itu bukan tim sukses, namun makelar caleg,” ujar Sukarman.


”Maksud kamu apa, Man?” 


”Mereka itu makelar. Di samping membawa uangmu, mereka juga membawa uang dari calon lain. Mereka mengeruk keuntungan sendiri. Bisa-bisa uangmu itu ditelan sendiri. Tidak dibagikan kepada orang-orang yang terdata sebagai pemilihmu.”


”Sukarman, sejak kemarin kamu ini pesimis. Menuduh timsesku dengan tuduhan yang bukan-bukan.”

 

”Aku tidak menuduh. Ini fakta. Aku sudah menyelidiki mereka sendiri. Besok bisa dibuktikan kata-kataku ini,” timpal Sukarman.

 

Mat Teguk gundah-gulana. Jiwanya terguncang. Dia mencemaskan kata-kata Sukarman menjadi kenyataan. Sejak pagi sampai sore para tim sukses tidak ada yang melaporkan perolehan suaranya. Mat Teguk hanya ditemani Sukarman dan keluarganya mondar-mandir mendata dan merekap perolehan suaranya.


Setelah suara dari seluruh TPS di daerah pilihannya direkap semua, perolehan suara Mat Teguk jauh dari harapan. Jangankan setengah, sepertiga dari batas minimal suara saja tidak terpenuhi. Mat Teguk lemas. Tubuhnya tidak berdaya. Mat Teguk baru sadar kalau para timses itu hanya mengeruk uangnya untuk kepentingan pribadi. Bukan untuk kemenangan Mat Teguk.


Lamongan, 4 Mei 2024 


 Ahmad Zaini, guru di SMKN 1 Lamongan dan Ketua Lesbumi PCNU Babat. Beberapa cerpennya telah beredar di berbagai media cetak, media online, serta puluhan buku antologi tunggal dan komunal.