Kesehatan

Konsep Farmasi untuk Peredaran Obat dan Alat Kontrasepsi

Jumat, 23 Agustus 2024 | 06:00 WIB

Konsep Farmasi untuk Peredaran Obat dan Alat Kontrasepsi

Konsep Farmasi untuk Peredaran Obat dan Alat Kontrasepsi (b--b.top).

Kontrasepsi meliputi penggunaan metode, obat, maupun alat untuk perencanaan kelahiran khusus bagi pasutri. Penyalahgunaan kontrasepsi dapat membahayakan pelakunya dan mempunyai dampak negatif yang luas. Karena itu, penting bagi semua pihak yang terkait untuk memahami konsep penggunaan dan distribusi kontrasepsi.
 

Kata kontrasepsi berasal dari bahasa Latin atau Yunani Kuno, yaitu gabungan dari kontra dan konsepsi. Kontra berarti menghambat atau melawan, sedangkan konsepsi berarti pembuahan atau pertemuan sel sperma dengan sel telur. Dengan demikian, kontrasepsi berarti upaya yang dapat dilakukan sebagai ikhtiar manusia untuk mencegah terjadinya pembuahan baik dengan alat, obat, maupun metode tertentu.
 

Dari aspek farmasi, obat kontrasepsi merupakan zat kimia yang berisi hormon, sedangkan alat kontrasepsi, yang juga dapat mengandung hormon dan zat kimia, merupakan alat yang harus digunakan dengan kehati-hatian di bawah pengawasan ahlinya. Alat maupun obat tersebut akan mencapai tubuh manusia dan menimbulkan efek biologis sehingga tidak boleh digunakan sembarangan. Efek biologis yang ditimbulkan bisa sesuai dengan harapan, bisa juga tidak sesuai dengan yang diharapkan.
 

Model kontrasepsi seperti tersebut di atas sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat alat dan obat kontrasepsi pada waktu itu masih alami dan berasal dari tanaman, hewan, maupun mineral. Salah satu tokoh yang mengembangkan pengobatan di masa Yunani Kuno, yaitu Hipocrates, memasukkan kajian tentang kontrasepsi kepada murid-muridnya yang merupakan para calon dokter.
 

Bapak ilmu kedokteran yang dikenal dengan Hippocrates sangat berhati-hati dalam menyampaikan konsep kontrasepsi. Kehati-hatian ini memang beralasan karena alat maupun obat kontrasepsi ada efek sampingnya. Bahkan dalam salah satu janji atau sumpahnya, Hippocrates sangat ketat dengan berusaha menghindarkan bahaya akibat kontrasepsi pada masanya di mana ilmu kedokteran masih menyatu dengan farmasi.
 

Pembahasan tentang sumpah Hippocrates yang berkaitan dengan kewanitaan dan kandungan diungkap oleh peneliti sebagai berikut:
 

“Dan kepada seorang wanita aku tidak akan memberikan pessarium yang berbahaya.” (Vintzileos dan Mylonas, 2024, Revisiting the evolution of the Hippocratic Oath in obstetrics and gynecology, American Journal of Obstetrics and Gynecology, Volume 230 Nomor 5: halaman 469).
 

Pessarium adalah bentuk sediaan farmasi yang dapat mengandung bahan kimia atau obat dan digunakan salah satunya untuk kontrasepsi pada wanita. Penggunaannya dapat menyebabkan peradangan lokal yang hebat dan cedera pada wanita. Efek kontrasepsi di satu sisi dan efek samping yang tidak dikehendaki ternyata telah ada pada metode kontrasepsi yang disebut sebagai pessarium itu.
 

Pernyataan Hippocrates tentang kontrasepsi tersebut menunjukkan bahwa masalah penggunaan kontrasepsi memang harus disertai dengan pengawasan dari ahli. Orang awam tidak boleh dibiarkan mengelolanya tanpa ilmu pengetahuan yang cukup karena bisa menimbulkan bahaya. Bahkan, dokter pun diwanti-wanti untuk ekstra hati-hati agar tidak lalai sehingga terjadi penyalahgunaan kontrasepsi.
 

Penyalahgunaan zat-zat yang berefek kontrasepsi juga telah diantisipasi oleh Hippocrates. Dalam salah satu nasihatnya kepada murid-muridnya, Hippocrates menyampaikan bahwa bila ada dokter yang mencegah kehamilan dengan menggunakan metode atau obat kontrasepsi secara tidak bertanggung jawab, maka tidak dianggap sebagai bagian dari komunitasnya (Al-Hafizh Ad-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dar Ihya-ul ‘Ulum: 1990], halaman 136).
 

Sebagai bentuk ikhtiar manusiawi, tercegahnya pembuahan sebagai hasil dari upaya kontrasepsi yang berujung pada pencegahan kehamilan bukanlah sebuah jaminan kepastian. Dari aspek keislaman, masalah terjadinya anak memang di luar upaya manusia dan hanya Allah yang menentukannya. Buktinya, ada pengguna kontrasepsi yang tetap mengalami pembuahan sehingga berlanjut pada kelahiran anak yang tidak dikehendaki.
 

Menurut peneliti Muslim di Amerika Serikat, meskipun metode kontrasepsi tersedia untuk anak perempuan sekolah di AS, tingkat kehamilan di sana sangat tinggi. Pada usia 20 tahun, ada 2 juta kehamilan di luar nikah, satu juta di antaranya mengakibatkan aborsi setiap tahunnya (Al-Bar dan Chamsi-Pasha, 2014, Contemporary Bioethics: Islamic Perspective, Springer Open: halaman 158).
 

Kenyataan tersebut diakui sendiri oleh peneliti dari Amerika Serikat. Beberapa pasangan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan meskipun mereka menggunakan alat kontrasepsi secara konsisten. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidaksempurnaan yang melekat pada alat kontrasepsi itu sendiri. Namun, yang lain mengalami kehamilan yang tidak diinginkan karena penyalahgunaan kontrasepsi (Jones dan Lopez, 2006, Contraception-Chapter Fourteen in Human Reproductive Biology, third edition: halaman 379-415).
 

Di Indonesia, bidang farmasi menerapkan kaidah Hippocrates dalam mengatur peredaran kontrasepsi sebagai Obat Wajib Apotek (OWA). Kategori obat ini adalah obat keras yang dapat diberikan tanpa resep dokter oleh apoteker di Apotek. Ketentuan lengkapnya ada di Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MenKes/SK/VII/1990.
 

Berdasarkan peraturan tersebut, meskipun selanjutnya dapat diberikan oleh apoteker di apotek tanpa resep dokter, penggunaan obat kontrasepsi untuk siklus pertama harus dengan resep dokter. Pasutri yang menggunakan obat kontrasepsi dan disebut akseptor dianjurkan kontrol setiap 6 bulan ke dokter dan bahkan ada yang wajib menunjukkan kartu akseptor. Apoteker di apotek yang memberikan kontrasepsi kepada yang berhak harus membuat catatan pasien dan obat yang telah diserahkan serta memberikan informasi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, maupun efek samping yang perlu diperhatikan.
 

Apabila ketentuan ini diterapkan dengan benar, peredaran obat kontrasepsi dapat dipertanggungjawabkan untuk kalangan tertentu. Selain obat kontrasepsi, sebenarnya alat kontrasepsi pun dapat dikelola dengan model ini. Apoteker yang menyediakan alat kontrasepsi di apotek dapat memberikannya dengan lebih selektif kepada konsumen yang telah berumah tangga melalui mekanisme yang mirip dengan pencatatan obat kontrasepsi, misalnya dilengkapi dengan ketentuan untuk menunjukkan kartu identitas yang menerangkan bahwa status konsumen telah berumah tangga.
 

Berbeda halnya bila alat kontrasepsi diperjualbelikan secara bebas tanpa pengawasan. Kemudahan alat kontrasepsi yang dapat diakses oleh siapapun dapat disalahgunakan sehingga berdampak pada pergaulan bebas maupun maraknya perzinaan. 
 

Karena itu, selayaknya aturan tentang penyediaan alat kontrasepsi perlu dikaji secara matang, detail, dan melibatkan pertimbangan secara komprehensif sebelum dituangkan dalam peraturan resmi agar tidak disalahgunakan sehingga memberikan dampak buruk secara luas. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti farmasi.