Nasional

Seminar Istinbath Hukum Islam PBNU Bahas Alur Kerja Bahtsul Masail

Kamis, 18 Juli 2024 | 23:35 WIB

Seminar Istinbath Hukum Islam PBNU Bahas Alur Kerja Bahtsul Masail

Rais Syuriah PBNU KH Cholil Nafis dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (18/7/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)

Sidoarjo, NU Online

 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam. Forum tersebut membahas peraturan perkumpulan (Perkum) terkait Bahtsul Masail.

 


Hal ini bertujuan untuk menjaga keselarasan dan ketetapan dalam pembahasan hukum Islam melalui kerja-kerja bahtsul masail yang terstruktur.


Rais Syuriah PBNU KH Cholil Nafis menjelaskan, penetapan dan pengesahan keputusan hasil dari bahtsul masail dalam tubuh Nahdlatul Ulama dilakukan melalui Rapat Harian Syuriah PBNU.


"Keputusan pengurus harian syuriah tingkat daerah dapat diajukan kepada Pengurus Besar Harian Syuriah untuk ditetapkan menjadi keputusan PBNU," jelas Kiai Cholil, di GreenSA UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, Kamis (18/7/2024).


Pada hal-hal tertentu, ia menyebut bahwa rapat penetapan keputusan dapat menghadirkan pakar atau tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan ditetapkan.


"Pengajuan disertai penjelasan ketentuan masalah keagamaan dan kemasyarakatan dengan mencantumkan kerangka analisis," tuturnya.


Sementara itu, hasil penetapan keputusan disampaikan kepada warga Nahdlatul Ulama dan pihak-pihak yang berkepentingan.


Terkait bahtsul masail, Kiai Cholil menyebut bahwa Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU memiliki tanggung jawab substantif kepada pengurus harian syuriah dan tanggung jawab administratif kepada pengurus harian tanfidziyah.


Kiai Cholil mengatakan bahwa LBM memiliki dua wewenang. Pertama, membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan sesuai tingkat kepengurusan.


Kedua, melakukan kaji ulang atau review terhadap hasil Bahtsul Masail pada forum permusyawaratan di bawahnya yang dianggap perlu.


Pedoman umum

Kiai Cholil menjelaskan, pedoman umum istinbathul ahkam yang diterapkan di lingkungan NU meliputi beberapa hal.


Pertama, pembahasan harus berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', dan qiyas dalam kerangka bermazhab kepada salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.


"Pembahasan bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Pembahasan merupakan masalah yang bersifat mutaghayyirat ittihadiyah atau variabel yang dapat berubah sesuai kondisi," ujarnya.


Sementara itu, keputusan yang diambil dalam bahtsul masail harus mengacu pada beberapa prinsip, yakni mengacu pada tujuan syariat atau maqashid al-syari'ah dan mengakomodasi tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat atau urf shahih.


"Mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan atau ma'alat al-af'al. Menggunakan tahqiq manat al-hukum melalui kerangka analisis yang meliputi analisis masalah, dampak hukum, serta tindakan," paparnya.


Kemudian pada prosedur pengambilan keputusan, Kiai Cholil menjelaskan bahwa dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutub al-madzahib al-arba'ah dan hanya terdapat satu pendapat, maka pendapat itu yang digunakan.


Sementara jika terdapat lebih dari satu qaul atau wajah yang bertentangan, maka dilakukan taqrir jama'i dengan mempertimbangkan maslahat.

 

"Jika tidak ada qaul atau wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhaqul masa'il bin nazha 'iriha secara jama'i oleh para ahlinya. Jika tidak mungkin dilakukan ilhaqul-masa'il bi nadza'iriha, maka istinbath jama'i dilakukan dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya," paparnya.


Ia menjelaskan, forum memperbolehkan berpindah dari satu sistem pengambilan hukum menuju sistem pengambilan hukum lain jika diperlukan.