Nasional

Tulis Diponegoro, Zainul Milal Bizawie Disebut 'Penggali Gorong-gorong Sejarah'

Jumat, 26 Juli 2019 | 10:45 WIB

Tulis Diponegoro, Zainul Milal Bizawie Disebut 'Penggali Gorong-gorong Sejarah'

Zastro Al-Ngatawi (Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Salah satu tokoh yang hadir pada peluncuran buku berjudul 'Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19' karya Zainul Milal Bizawie yang diadakan di Auditorium 2 Gedung Perpusnas RI, Jakarta Pusat, Kamis (25/7), ialah Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi.

Di forum itu, Zastrouw mengibaratkan Zainul Milal Bizawie sebagai penggali gorong-gorong sejarah Nusantara karena menulis sejarah Nusantara pada awal abad 19 dan tidak mainstream disebabkan tokoh yang ditulis bukan pemenang.

"Mas Milal ini Ibaratnya Orang Menggali gorong-gorong," kata Zastrouw.

Hal itu menurut Zastrouw berbalik dengan sejarah yang selama ini dibangun, yakni memgungkapkan pemenang sehingga memiliki banyak data dan bukti. Selain itu, ia prihatin, penulisan sejarah yang ada dimilai awal abad 20, seperti Gerakan Budi Utomo. Sementata sejarah awal abad 19 seperti Diponegoro, yang telah menanamkan nasionalosme belum banyak yang mengungkapkan.

"Mas Milal luar biasa, dia adalah penggali gorong-gorong sejarah yang mencoba mencari, mengurutkan rute-rute sejarahan ini san menemukan mutiara di situ untuk diasah, untuk diolah dan kemudian dipancarkan kembali menjadi mutiara dan intan yang selama ini terpendam. Jadi Mas Milal ini luar biasa," kata Zastrouw.

Keprihatinan Zastrouw bertambah karena selama ini dalam anggapannya, bangsa Indonesia belum memahami keindahan intan, mutiara, atau emas yang ada di Indonesia (maksudnya sejarah dan khazanah ulama Nusantara).

"Kita sia-siakan bongkahan emas itu, kita buang butiran mutiara itu, bahkan bonhkahan emas itu kita pegang untuk jadikan alat saling memukul dan melempar sesama. Dia tidak mengerti kehebatan warisan leluhur dan jejak sejarah ulama ulama Nusantara ini," ucap pria yang juga akademisi Unusia Jakarta ini.

Ketidakpahaman itu diibaratkan Zastrouw seperti kera yang hanya mencari sebuah pisang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mereka saling berebut sebuah pisang untuk memenuhi perutnya.

"Ini yang terjadi (di Indonesia)," katanya. 

Selain Zastrouw hadir juga tokoh lain yang mengemukakan testimoninya, yaitu Katib Syuriyah PBNU KH Miftah Faqih, Akademisi UIN Syarif Hidayatullah M Ikhsan Tanggok, Jubir BIN Wawan Hari Purwanto, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad, Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta Ahmad Suaedy, dan Direktur Islam Nucantara Center A Ginanjar Sya'ban. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)