Daerah

Bakar Batu Warnai Syawalan PCNU Mimika Papua Tengah

Senin, 22 Mei 2023 | 22:45 WIB

Bakar Batu Warnai Syawalan PCNU Mimika Papua Tengah

Tokoh suku Amungme, Yohanis Niwinolbak memimpin acara bakar batu pada rangkaian Rakedan Syawal Bumi Amungsa yang diadakan PCNU Mimika, Papua Tengah, Sabtu (20/5/2023). (Foto: istimewa)

Mimika, NU Online 
Salah satu tradisi yang populer di Bumi Amungsa, Mimika Papua Tengah adalah bakar batu, sebuah metode memasak yang melegenda di mayoritas suku-suku di Papua.


Acara Rawat Kebhinnekaan, Damai Kita Dapatkan atau Rakedan Syawal Bumi Amungsa yang diadakan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Mimika juga tidak ketinggalan menghadirkan tradisi bakar batu sebagai salah satu kegiatan uniknya. Acara ini  diselenggarakan oleh PCNU Mimika di Kampung Naena Muktipura Distrik Iwaka pada Sabtu (20/5/2023).


"Untuk kegiatan bakar batu ini dipercayakan kepada tokoh masyarakat Amungme yang ahli bakar batu. Kami sampaikan bahwa bahan-bahan disediakan oleh panitia untuk dipastikan makanan dari bakar batu adalah halal, daging babi kita ganti ayam," terang Ketua Panitia Rakedan Syawal Bumi Amungsa, Lalu Hiskam, didampingi Kepala Kampung Naena Muktioura, Lalu Sukri Rahman, saat silaturahim ke rumah tokoh suku Amungme, Yohanis Niwinolbak.


Pesan simbolik bakar batu

Bakar batu bagi suku Papua bukan kegiatan biasa, namun sarat dengan nilai-nilai simbolik.


"Bakar batu itu mengandung makna kebersamaan. Tidak bisa kita mengadakan kegiatan bakar batu sendirian, tapi harus melibatkan banyak orang. Jumlah makanan yang dibakar juga tidak sedikit. Tidak mungkin juga bakar batu hanya untuk dimakan sendirian. Ini berbeda dengan membakar ikan," sebut Yohanis yang memimpin prosesi bakar batu.


Bakar batu juga sering menjadi simbol perdamaian antarsuku yang sedang bertikai. 


"Betul bahwa bakar batu menjadi ekspresi rekonsiliasi konflik atau perdamaian. Kerukunan yang sempat koyak lalu dirajut kembali melalui acara bakar batu. Semua kerja bersama, semua makan bersama, semua bercanda gembira, semua menikmati kebersamaan lewat prosesi bakar batu," urai Kepala Kampung Naena Muktipura, Lalu Sukri


Pada momen ini, Yohanis merasa bangga karena panitia membuat acara bakar batu.


"Saya sangat terkesan ternyata tradisi kami bakar batu ini masuk dalam acara ini. Kami baru pertama kali terlibat bakar batu di acaranya orang Muslim. Kami senang karena kami merasa tradisi dan budaya kami diangkat," urai Yohanis lebih lanjut.


Satu hal lagi yang membuat tokoh Amungme ini terkesan adalah lokasi bakar batu dilaksanakan di masjid.


"Saya sangat terkesan dan tersentuh, kami merasa diangkat karena belum pernah bakar batu di area masjid. Baru kali ini itu terjadi," ungkap Yohanis.


Lezatnya makanan olahan bakar batu
Selama prosesi bakar batu berlangsung, lantunan shalawat yang dibawakan grup Ahbaabul Musthofa terus menggema.


Bakar batu secara umum terdapat 3 tahapan, yakni membakar batu hingga membawa, memasak sayuran, makanan, dan lauk di lubang pemeraman. Pemeraman dilakukan dengan memasukkan batu yang membara ke dalam lubang pemeraman. Tahap akhir adalah pembongkaran lubang peram dan penyajian makanan.​​​​​​


Testimoni kelezatan makanan olahan bakar batu datang dari jamaah yang berani mencobanya. Ketua PCNU, Wakil Sekretaris PCNU, Takmir Masjid, Sekretaris LTM, dan para panitia mengakui kelezatannya. Ada 3 jenis menu yang disajikan dari bakar batu, yakni ayam, petatas, dan sayur mayur. Sayur mayur terdiri dari daun singkong, pucuk pakis, daun petatas, daun pepaya, kangkung, dan daun gedi.


Selain kelezatan makanan hasil bakar batu, kelezatan kuliner khas Kampung Naena Muktipura juga menggiurkan, yakni sayur ares pisang, sayur khas Lombok.yang hanya disajikan di acara acara khusus.


Kesibukan para ibu dalam memasak tidak luput dari pengamatan Wakil Rais Syuriyah PCNU Mimika. 


"Di bawah komando Bu Unani, para ibu masak tak kenal waktu. Bahkan sudah diniati tidak tidur demi suksesnya acara. Saya tahu sendiri karena menginap di rumah yang dipakai untuk masak. Sungguh khidmah yang luar biasa bikin netes air mata," urainya.


Editor: Kendi Setiawan