Nasional

Di Saat Banyak Orang Mengejar Gelar, Rektor UII Minta Namanya Bersih dari Gelar Akademik

Kamis, 18 Juli 2024 | 21:45 WIB

Di Saat Banyak Orang Mengejar Gelar, Rektor UII Minta Namanya Bersih dari Gelar Akademik

Kampus UII Yogyakarta. (Foto: uii.ac.id)

Jakarta, NU Online

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 2748/ Rek/10/SP/VII/2024 yang menyatakan agar gelar akademiknya tak ditulis di surat resmi. Surat tersebut ditujukan kepada pejabat struktural di lingkungan UII. 


“Dalam rangka menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap “Prof. Fathul Wahid, S.T., M. Sc., Ph.D.” agar dituliskan tanpa gelar menjadi Fathul Wahid,” bunyi SE tersebut.


Dikonfirmasi NU Online, Fathul membenarkan SE itu. “Betul. Itu SE valid,” kata Fathul Wahid, melalui aplikasi pesan singkat, pada Kamis (18/7/2024).


Menurut pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 26 Januari 1974 ini, setidaknya ada tiga alasan mengapa SE itu muncul.


Pertama, menjaga semangat kolegialitas. “Jangan sampai jabatan profesor (guru besar) justru menambah jarak sosial. Kampus seharusnya menjadi salah satu tempat yang paling demokratis di muka bumi,” ungkap Fathul.


Kedua, jabatan profesor memang capaian akademik tertinggi, tetapi yang melekat di sana lebih banyak tanggung jawab publik. 


“Saat ini, di Indonesia semakin banyak profesor, tetapi tidak mudah mencari intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran ketika ada penyelewengan,” ucapnya.


Ketiga, menurut Fathul Wahid jangan sampai jabatan guru besar dianggap sebagai status sosial dan bahkan dikejar-kejar, termasuk oleh sebagian pejabat dan politisi dengan mengabaikan etika. 


“Kalau peraturan sih bisa dibuat. Banyak peraturan yang tidak kalis kepentingan,” imbuhnya.


Fathul berharap, semakin banyak profesor yang berkenan ikut sebagai gerakan moral simbolik yang bisa menjadi budaya egaliter baru yang permanen.