Nasional

Gus Yahya: Konflik Timur Tengah Menunggu Kiprah Ulama NU

Senin, 27 Januari 2020 | 03:45 WIB

Gus Yahya: Konflik Timur Tengah Menunggu Kiprah Ulama NU

Halaqah Kebangsaan

Cirebon, NU Online
Pesantren Masyariqul Anwar Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat menggelar Halaqah Kebangsaan bertajuk Peran Historis NU dalam Mengawal dan Menjaga Kedaulatan Negara Indonesia. Halaqah bertempat di Aula Pesantren Masyariqul Anwar Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat pada Ahad (26/1).
 
Kegiatan yang menjadi rangkaian peringatan haul ketiga KH Makhtum Hanan dan haul ke-23  dan diisi istighatsah kubro ini menghadirkan dua pembicara. Mereka  ialah Katib 'Aam PBNU KH Yahya Cholil Tsaquf atau Gus Yahya dan Pengasuh Pesantren Cadangpinggan Sukagumiwang, Indramayu, Jawa Barat, KH Abdul Syakur Yasin atau Buya Syakur.
 
Dalam kesempatan tersebut, Gus Yahya mengemukakan tentang kiprah ulama-ulama NU dalam pembentukan negara Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan keberadaan dan peran NU sangat penting bagi perdamaian dan kemerdekaan bangsa-bangsa lain.
 
"Situasi global yang tidak menentu sekarang menunggu kiprah NU, terutama terhadap yang terjadi di Timur Tengah," kata Gus Yahya.
 
Pria yang juga menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang itu menuturkan bahwa peperangan sektarian yang terjadi di Timur Tengah sebagai akibat dari kurangnya pemahaman kontekstualisasi dengan keadaan sekarang, sehingga menimbulkan ajaran yang tidak maslahat dari pada fiqh tersebut.
 
Ia memberi contoh bagaimana memahami kasus perbudakan dan ketertindasan perempuan yang lazim ditemui dalam kitab-kitab fiqih klasik yang disebutnya belum ingin beranjak untuk membangun perdamaian dunia.
 
"Mereka paham teks namun tidak paham konteks," ucapnya.
 
Ia lebih jauh menawarkan fiqih peradaban (fiqh al-hadlarah) untuk umat Islam saat ini, di mana nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan menjadi muatan utama. 
 
Sementara Buya Syakur menilai bahwa ajaran Islam yang dipraktikkan masyarakat Indonesia masih lebih baik daripada pelaksanaan di Timur Tengah. Hanya saja ia menyayangkan sebagian masyarakat Indonesia yang terjangkiti Arab Syndrome, yakni ketidakpercayaan Muslim Indonesia dengan corak keislaman yang ada di tanah air.
 
"Mereka lebih suka menggunakan istilah Arab dibandingkan bahasa sendiri," kata Buya Syakur.
 
Buya Syakur mencontohkan bagaimana sebagian umat Islam lebih mengagumi sosok Khalid bin Walid daripada para Pahlawan Nasional seperti Jenderal Sudirman dan para kiai.
 
"Maka dari itu acara halaqah yang kemudian dilanjutkan haul membuat kita diingatkan kembali bahwa seorang kiai di Babakan, Almarhum KH Makhtum Hannan telah memberi teladan yang baik bagi kita untuk peduli terhadap problem sosial-kebangsaan," terangnya.
 
Lebih lanjut Buya Syakur mengemukakan bahwa Indonesia membutuhkan fiqih nusantara yang adaptatif dengan kebudayaan dan keseharian ubudiyah umat Muslim di Indonesia. Menurutnya, banyak kitab fiqih yang perlu untuk dikritisi ulang karena relevansinya jauh dari keseharian masyarakat Indonesia. 
 
"Karena lazim diketahui bahwa orang Arab menganggap orang Islam di Indonesia kurang 'berhak' untuk berbicara tentang Islam hanya karena tidak bisa berbahasa Arab. Maka fiqih kebudayaan atau fiqih nusantara sebagai pembuktian bahwa umat Islam di Indonesia juga bisa berbicara tentang Islam," jelasnya.
 
Kegiatan ini diikuti oleh Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Cirebon KH Wawan Arwani, Ketua PCNU Kabupaten Cirebon KH Azis Hakim Syaerozi, PCNU se-wilayah III Cirebon, sejumlah PCNU dari Jawa Tengah, para kiai Pesantren Babakan Ciwaringin, dan masyarakat setempat.
 
 
Pewarta: Husni Sahal
Editor: Kendi Setiawan