Tokoh

Chalid Mawardi: Kiai, Jurnalis, Pendiri IPNU, dan PMII

Rabu, 4 September 2024 | 16:00 WIB

Chalid Mawardi: Kiai, Jurnalis, Pendiri IPNU, dan PMII

KH Chalid Mawardi (Foto: NU Online)

Namanya barangkali tidak asing bagi para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebab tercatat sebagai salah satu pendiri dan termaktub dalam materi-materi pengkaderan organisasi mahasiswa berhaluan Ahlussunah wal jamaah tersebut. Ahmad Chalid Mawardi demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada 11 September 1936 atau hanya berselang setahun setelah penyelenggaraan Muktamar ke X Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Surakarta, tempat kelahirannya.


Chalid (dibaca Cholid, seperti yang tertera dalam catatan Silsilah Keluarga KH Masyhud Keprabon Solo) merupakan putra dari pasangan Kiai Mawardi bin KH Mawardi Sepuh dan Nyai Hj Mahmudah binti KH Masyhud. Keduanya merupakan tokoh penggerak di Kota Surakarta. Menurut penuturan Chalid, ayahnya pernah aktif di Partai Sarekat Islam pada era kepemimpinan KH Agus Salim. Sedangkan ibunya, Nyai Mahmudah merupakan seorang pendidik di Madrasah Sunniyah Keprabon dan Nahdlatul Muslimat (NDM) Kauman Surakarta.


Pada saat melahirkan Chalid, Nyai Mahmudah yang lahir pada 12 Februari 1912, baru berusia 24 tahun. Sekitar 10 tahun kemudian ia mesti membesarkan putra-putrinya sendirian. Kiai Mawardi, ayah Kiai Chalid, wafat di usia yang cukup muda (sekitar masa revolusi Indonesia). Selain Chalid, putra-putri dari pasangan Kiai Mawardi dan Nyai Mahmudah, yakni Djabir Mawardi (Pengurus PP IPNU periode awal), Latifatuzzahroh atau dikenal sebagai Latifah Mawardi (pendiri IPPNU), dan Faridatul Unsiyah Mawardi (Ketua PP IPPNU 1963-1966). Anak yang paling kecil, Farida, lahir beberapa hari setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya atau tepatnya pada 20 Agustus 1945.


Masa kecil Chalid dan saudara-saudaranya banyak dihabiskan di tempat kelahirannya, Keprabon Solo. Untuk Pelajaran agama mereka dapatkan dari ibu dan kakeknya yang bernama KH Masyhud bin Qosim bin Ahmad (wafat th 1950-an), seorang ulama terpandang di zaman tersebut. Dari penuturan Chalid, kakeknya merupakan tokoh NU yang berasal dari Bonang, Lasem, Rembang. Data keterlibatannya di NU, penulis temukan pada susunan PCNU Kota Solo tahun 1938, sebagai A’wan Syuriyah (Berita Nahdlatoel Oelama No 14 Th ke 7, Edisi 15 Mei 1938).


Chalid mengingat sang kakek dikenal bersikap keras dan memiliki cara pandang yang konservatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. “Misalnya, ia melarang keturunannya untuk menjadi pegawai pemerintahan (Ambtenaar), karena itu pemerintahan kafir, jadi sederhana sekali, tidak mau tunduk, padahal Solo (pada saat itu) berada di bawah kekuasaan Belanda,” kata dia.


Yang menarik, nama Kiai Masyhud dan Kiai Mawardi Sepuh (keduanya kakek Chalid) disebut dalam buku Zaman Bergerak (Takashi Shiraishi, 1997). Keduanya bersama sejumlah kiai lain ditulis sebagai sosok kiai progresif. “RKH Adnan dari Pangulon, KH Mohammad Edris dari Pesantren Jamsaren, serta KH Mashoed dan K Mawardi dari Mamba’oel Oeloem. Orang-orang ini adalah mereka yang memimpin TKNM afdeling Surakarta dan telah diserang Misbach karena ‘islam lamisannya” (Shiraishi, 1997: 348)


Kiai Masyhud memiliki nama kecil Mustahal, yang kemudian berganti menjadi Masyhud saat ia pergi haji dan belajar di Makah. Nama Mustahal ini pula yang kelak kemudian juga diberikan kepada salah satu putranya, Mustahal Ahmad. Setelah banyak menimba ilmu agama di beberapa pesantren, di antaranya ia pernah nyantri kepada Kiai Kholil Bangkalan, Masyhud kemudian berangkat ke Makah. Rupanya, kecintaan Kiai Kholil Bangkalan terhadap ilmu nahwu, khususnya bait-bait dari kitab Alfiyah ibnu Maliki, juga ikut menurun kepada Masyhud.


“Mbah Masjhud ini pergi ke Mekkah, ulama seangkatan beliau KH Hasyim Asy’ari, KH Bisri Syansuri. Satu perguruan. Kalau Mbah Masyhud ini lebih memilih Nahwu Shorof, sehingga disebut ulama spesialisasi nahwu,” terang Chalid.


Di kemudian hari, salah satu putri KH Masyhud yang bernama Nyai Mahmulah dipersunting oleh KH Ahmad Hubbi Athoillah Bisri, salah satu putra kawannya saat di Mekkah, Kiai Bisri Syansuri.


Mendirikan IPNU dan PMII
Begitulah, Chalid yang tinggal di kompleks pesantren (yang kelak disebut Pesantren Al Masyhudiyah) milik kakeknya tersebut. Sembari mengaji ilmu agama kepada orang tua dan kakeknya, Chalid juga menempuh pendidikan formal di Madrasah Sunniyah (lulus th 1948). Kemudian tahun 1951 ia lulus dari SMPN VI Solo dan tahun 1954 lulus dari SMAN IV Solo. Di masa inilah Chalid bersama sang paman, yakni Mustahal Ahmad dan sejumlah pelajar setingkat SMA di Kota Surakarta, pada 27 Desember 1953 mendirikan wadah bernama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Surakarta (IPNUS). Sebagai catatan, meski status Chalid dan Mustahal sebagai kemenakan dan paman, namun usianya hanya terpaut hampir 2 tahun (Mustahal lahir Januari 1935).


Pada perkembangannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mustahal dalam buku Fragmen Seperempat Abad PMII (Nukhbah dkk, DSC PMII Surakarta, 1985), Mustahal dan Chalid ikut hadir dalam Konferensi Besar (Konbes) Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU di Semarang tahun 1954, bersama dua tokoh pelajar NU lainnya, Abdul Ghoni Farida dan M Sofyan Cholil. Bahkan, dalam sebuah sesi persidangan, Mustahal dan Chalid didaulat untuk ikut menguraikan beberapa poin penting terkait pembentukan wadah pelajar NU. Dari beberapa poin yang disampaikan, kemudian memperkuat para peserta forum untuk menyetujui berdirinya wadah pelajar NU.


Kiprah Chalid dalam proses berdirinya IPNU ini memang jarang atau bahkan tidak diungkap dalam beberapa referensi sejarah IPNU, semisal di buku KH Moh. Tolchah Mansoer, Biografi Profesor NU yang Terlupakan (2009) dan Kaum Muda NU dalam Lintas Sejarah: 50 Tahun Pergulatan dan Kiprah IPNU dalam Mengabdi Ibu Pertiwi (2003). Di dua buku yang kemudian menjadi rujukan utama bagi kader IPNU tersebut, hanya ditulis KH Moh. Tolchah Mansoer sebagai penggagas/ketua umum pertama dan hanya tiga orang yang hadir di acara Konbes LP Ma’arif NU tahun 1954, yakni Mustahal Achmad, Abdul Ghoni Farida dan M Sofyan Cholil. Padahal faktanya, Chalid Mawardi hadir dan ikut andil dalam penyampaian gagasan terkait pentingnya pembentukan wadah pelajar NU. Ini tentu perlu menjadi perhatian penting bagi kader IPNU.


Momen Konbes LP Ma’arif NU di Semarang yang terjadi pada tanggal 24 Februari 1954 atau 20 Jumadil Akhir 1373 H tersebut, kemudian dijadikan sebagai tanggal hari lahir (harlah) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Dua bulan berselang, kali ini dengan perwakilan para pelajar NU dari 5 daerah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Jombang, dan Kediri), diselenggarakan Konferensi Lima Daerah/Panca Daerah di Kota Surakarta. Menurut penuturan dari KH Abdullah Asy'ari, yang pernah menjadi pengurus IPNU Kota Surakarta di tahun 1960-an, konferensi tersebut dilangsungkan di Madrasah Mambaul Ulum Surakarta.


Di salah satu ruang kelas, di sekolah yang terletak di sebelah selatan Masjid Agung Surakarta itulah dilakukan konsolidasi organisasi yang menghasilkan rumusan asas organisasi, yakni Ahlussunah wal jamaah, tujuan organisasi, yaitu mengemban risalah islamiyah, mendorong kualitas pendidikan, dan mengkonsolidasi pelajar. Keputusan yang tak kalah penting dari pertemuan perwakilan dari lima daerah tersebut, yaitu menetapkan Moh. Tolchah Mansoer sebagai ketua umum pertama, serta menjadikan Yogyakarta sebagai pusat kedudukan organisasi.


Kiprah Chalid di IPNU, berlanjut sebagai Sekretaris Perwakilan Pimpinan Pusat (PPP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PPP) periode awal. PPP ini berkedudukan di Jakarta, sedangkan untuk Pimpinan Pusat masih berkedudukan di Yogyakarta. Sejak tahun 1954, Chalid memang pindah ke Jakarta, sebab ia melanjutkan studi sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia (UI). Ia menyelesaikan pendidikan hingga Tingkat candidat I (istilah pada saat itu), pada kurun waktu tahun 1954-1956. Kemudian, tahun 1956-1960, ia kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan mendapatkan gelar sarjana.


Pada tahun yang sama ketika Chalid di Jakarta, sang ibu Nyai Hj Mahmudah Mawardi yang saat itu merupakan Ketua Umum PP Muslimat NU, terpilih menjadi Anggota DPR dan Konstituante RI hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955. Era tersebut, NU telah menjelma menjadi partai politik dan ikut dalam kontestasi Pemilu pertama di tahun 1955. NU berhasil meraih suara tiga besar di level nasional. Kiprah sang ibu, kemudian diteruskan oleh Chalid yang menjadi anggota MPRS pada tahun 1960 atau di usianya yang baru 24 tahun. Di tahun yang sama, tepatnya pada 17 April 1960 di Surabaya, Chalid bersama sejumlah mahasiswa dari kalangan NU, mendirikan PMII.


Meski ia tidak hadir pada momen pendirian PMII, Mahbub kemudian didaulat menjadi Ketua Umum. Chalid (yang sebetulnya sempat diusulkan menjadi Ketua Umum) menuturkan Mahbub dipilih karena memiliki jejaring dan pandangan yang luas. "Orang yang tepat adalah ini, Mahbub sudah mengenal tokoh-tokoh besar dan mengenal pandangan modern," kata dia.


Pada kepengurusan awal Chalid mengemban amanah sebagai Ketua I. Sedangkan untuk Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) PMII dipegang Mahbub Djunaidi. Ia membersamai Mahbub selama 3 periode kepengurusan (1960-61, 1961-1963, dan 1963-1967).


Kiprah Perjuangan
Chalid dan Mahbub sama-sama pernah mengalami masa kecil mereka di Kota Solo. Chalid di Keprabon dan Mahbub di Kauman. Kedua wilayah tersebut berjarak sepelemparan tombak dan hanya terpisah oleh Jalan Slamet Riyadi. Usia keduanya hanya terpaut tiga tahun dan memiliki kesamaan hobi: membaca dan menulis. Ketika NU mendirikan media bernama Duta Masyarakat, Mahbub dan Chalid sama-sama ikut terlibat di dalamnya. Dalam struktur redaksi, mereka mulai masuk hampir bersamaan pada tahun 1960-an. Pun, ketika Mahbub menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Chalid juga mengemban tugas serupa di PWI Cabang Jakarta.


Sebagai redaktur, Chalid pernah berkesempatan pergi ke Tanah Suci untuk beribadah haji sekaligus melakukan liputan. Tepatnya pada saat haji tahun 1965, ia bersama M Said Budairy, secara berkala mengirimkan tulisan dan dimuat di pojok kanan halaman kedua Duta Masyarakat. H A Chalid Mawardi secara berseri menuliskan tema: Saudi Arabia Jang Kulihat, dengan judul yang berganti setiap serialnya. Sedangkan H M Said Budairy menulis tema: Tjatatan dari Tanah Sutji Ketiga. Meski berada di negara Arab, Chalid tak segan menuliskan artikel bernada kritik. Pernah ia menulis dengan judul Palestina Policy Jang Bantji, di mana ia mengkritik kebijakan pemerintah Arab Saudi dan negara Arab lainnya, yang saat itu serempak menentang Israel.


“Sekurangnja kalau bitjara di depan umum, tiap pemimpin Arab djarang jang bitjara lunak-lunakan terhadap Israel. Resminja harus begitu, kalau tidak ingin kehilangan popularitas, terutama di mata orang-orang Palestina.. Ketika saja masih berada di Makkah, surat kabar Saudi ramai membitjarakan masalah pengiriman sendjata dari Djerman Barat ke Israel. Negara Arab semuanja marah.. Di situ dapat diketahui dengan djelas, bahwa Djerman Barat tidak berdiri sendiri, melainkan didukung dengan kuat oleh Amerika Serikat.. Tetapi, siapakah jang dapat memberikan pukulan keras kepada Amerika Serikat? Djawabnja: Tidak lain adalah Saudi Arabia. Negara ini bisa memaksa AS untuk berfikir 17 kali, sebelum AS memutuskan untuk mengambil Langkah-langkah jang memperkuat Israel.. Tapi ternjata Saudi Arabia tak mau ambil resiko ituâ€Ĥ (Duta Masjarakat edisi 28 Mei 1965)


Keterlibatan Chalid dan Mahbub di Duta Masyarakat berakhir, ketika koran ini dibredel. ketika Pemilu tahun 1971, di mana Duta Masyarakat membuat laporan khusus mengenai perolehan hasil suara di lapangan dan juga beberapa kecurangan-kecurangan yang terjadi. Akibat laporan khusus tersebut, Duta Masyarakat dianggap menuliskan laporan yang tidak sesuai dengan hasil penghitungan suara versi pemerintah, yang berujung pada pembredelan Duta Masyarakat.


Tahun 1971 yang berujung pada pembredelan Duta Masyarakat, sekaligus menjadi momen terpilihnya Chalid Mawardi menjadi anggota DPR dan MPR RI. Ia terpilih dari Partai NU mewakili daerah Kodya Pare-pare Sulawesi. NU sendiri pada Pemilu 1971, meraih posisi dua besar, sekaligus menjadi pesaing utama Golkar yang saat itu menjadi kendaraan politik rezim Orde Baru. Chalid yang pernah menjadi Ketua dan Sekretaris Umum PP GP Ansor (1980-1985 dan 1959-1963), mengungkapkan situasi setelah peristiwa Gestok dan Soekarno tak lagi menjadi presiden, di mana NU menghendaki proses pergantian kekuasaan dilaksanakan dengan mekanisme Pemilu.


“Bagi NU, Pemilu untuk mewujudkan demokrasi, untuk memilih wakil rakyat yang bertanggung jawab yang mengerti rakyat. Untuk menyaring pemimpin. Sedangkan ABRI setuju Pemilu, tapi butuh kekuatan dari kalangan sipil. Nah, kepentingan dia adalah permanennya atau untuk melestarikan kekuasaan di tangan tentara. Sedangkan NU Pemilu itu untuk mewujudkan demokrasi, (makanya) sejak awal sudah tidak sesuai,” terang Kiai Chalid.


Setelah NU fusi ke PPP, Chalid tetap aktif sebagai anggota parlemen, hingga di tahun 1984 ia diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Suriah (1984-1988). KH A Chalid Mawardi juga pernah mengemban Amanah sebagai Ketua PBNU di era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1989-1994. Dalam sebuah kesempatan, sosok yang mengidolakan KH A Wahid Hasyim tersebut pernah menyampaikan harapan akan generasi muda di masa kini dan mendatang. “NU sekarang menghadapi tantangan baru, maka jadilah kader yang selain ahli ilmu nahwu, ilmu shorof, juga ahli ilmu komputer dan lain sebagainya," tuturnya.


Semasa hidupnya, Kiai Chalid menikah dengan Hj Muniroh dan dikaruniai tiga orang anak. KH A Chalid Mawardi wafat di usia hampir 88 tahun (11 September 1936 – 26 Juli 2024) dan dimakamkan di Pemakaman Al Azhar, Karawang, Jawa Barat. Lahul fatihah


Ajie Najmuddin, Penulis buku Menyambut Satu Abad NU


Referensi:
1.    Wawancara KH A Chalid Mawardi, di Jakarta (Maret 2017) dan Solo (Mei 2018)
2.    Wawancara Nashirul Ulum (cucu KH Masjhud/putra H Mustahal Ahmad) di Solo, 22 Juni 2014.
3.    Wawancara KH Abdullah Asyari (Ketua PC IPNU Solo tahun 1960-an), Februari 2017
4.    Koran Duta Masyarakat edisi 28 Mei 1965
5.    Berita Nahdlatoel Oelama No 14 Th ke 7, Edisi 15 Mei 1938
6.    Riwayat hidup anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1971 (Lembaga Pemilu, 1973)
7.    Takashi Shiraishi (diterjemahkan oleh Hilman Farid), Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Pustaka Utama Grafiti, 1997)
8.    Nukhbah dkk, Fragmen Seperempat Abad PMII (DSC PMII Surakarta, 1985)
Â