Tokoh

KH Ali Manshur Shiddiq, Pencipta Shalawat Badar, Sang Juru Bicara Konstituante

Kamis, 29 Agustus 2024 | 08:45 WIB

KH Ali Manshur Shiddiq, Pencipta Shalawat Badar, Sang Juru Bicara Konstituante

Kiai Ali Manshur saat berziarah di Taman Makam Pahlawan (Foto: dokumen koleksi Komunitas Pegon)

Pencipta Shalawat Badar, KH Ali Manshur Shiddiq, mendapatkan anugerah Bintang Budaya Parama Dharma. Penghargaan tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (14/8/2024) lalu. Penghargaan tersebut diterima oleh perwakilan ahli waris keluarga, yakni dua putra KH Ali Manshur, KH Ahmad Syakir Ali dan Gus Saiful Islam Ali. 


Raden Muchamad (RM) Ali Mansur lahir di Talangsari, Jember, Jawa Timur pada 13 Maret 1921, sesuai dengan data nama dan tempat tanggal lahir yang tertulis pada daftar keanggotaan Badan Konstitusi Republik Indonesia (RI). Sedangkan pada buku Perjalanan NU Tuban dari Masa ke Masa (Mundzir dan Nurcholis, 2014: 422), menyebutkan angka kelahirannya pada tanggal 23 Maret 1921 atau 4 Ramadhan 1340 H.


Nama kecilnya yakni Ali Erkham, yang kemudian di masa mendatang lebih dikenal dengan menyematkan nama sang ayah di belakang namanya menjadi Ali Manshur. Sumber lain menyebutkan perubahan nama dilakukan setelah ia menunaikan haji. Ali merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Kiai Manshur bin KH Muhammad Shiddiq Jember dan Nyai Shofiyah binti KH Basyar Makam Agung Tuban.


Kiai Manshur menikah dua kali, pertama dengan Nyai Aminah yang kemudian wafat dan tidak dikaruniai keturunan. Kemudian yang kedua, dengan Nyai Shofiyah yang dikaruniai empat anak, yakni Sofanah, Zulaikho, Rahmah, dan Ali. Dua anak mereka, Zulaikho dan Rahmah, meninggal saat kecil.


Ali dibesarkan di Tuban dan sejak kecil sembari bersekolah di Madrasah Salafiyah di Makam Agung Tuban, ia turut membantu ibunya berjualan pisang goreng. Namun, ketika menginjak kelas lima, ia tak lagi ikut berjualan, karena pamannya yang bernama KH Murtadho meminta Ali untuk ikut mengajar di sekolahnya.


Di usia 11 tahun, Ali meneruskan pendidikan di Pesantren Tremas Pacitan, yang saat itu masih diasuh oleh KH Dimyati. Selain itu, ia juga kemudian pernah nyantri di beberapa pesantren, di antaranya Pesantren Al Hidayah Lasem, kemudian Pesantren Langitan Widang Tuban, Tebuireng Jombang, dan Pesantren Lirboyo Kediri.


Di Lirboyo, bakat Ali di bidang ilmu sastra semakin terasah. Ia dikenal ahli dalam membuat syair. Bahkan, seringkali ketika sang kiai, yakni KH Abdul Karim menuliskan syair atau nadhoman di papan tulis dan menyuruh santri untuk melagukannya, Ali lah yang pertama dapat melagukannya dengan intonasi yang benar. Di masa menjadi santri ini pula, Kiai Ali mulai aktif di Nahdlatul Ulama (NU) sejak tahun 1939.


Pengabdian dan Perjuangan

Sekitar tahun 1945, sepulang dari perjalanan menimba ilmu di berbagai pesantren, Kiai Ali menjadi guru (pegawai negeri) dan mendapat tugas mengajar di Madrasah Salafiyah Tuban Karesidenan Bojonegoro. Di masa revolusi, Kiai Ali juga ikut berjuang dalam medan perang bersama Laskar Hizbullah Batalyon III Tuban sebagai Kepala Staf Umum Barisan Sabil Komandan DPM Instruksi Pertahanan Rakyat. Selain itu, ia juga menjadi anggota DPRDS Kab. Tuban.


Kemudian, pada tahun 1950, ia pindah tugas sebagai Klerk Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Besuki. Tahun 1952, ia diangkat menjadi Kepala KUA Kabupaten Sumba yang selanjutnya naik menjadi Kepala bagian Politik dan Aliran Agama pada Kantor Agama Provinsi Nusa Tenggara. Sewaktu bertugas di sana, Kiai Ali juga mengemban amanah sebagai Konsul NU (kini PWNU) di wilayah Nusa Tenggara. Kiai Ali kemudian kembali ke Kantor Agama Jawa Timur, dengan posisi yang sama saat penugasan sebelumnya.


Tahun 1955, NU yang saat itu masih menjadi Partai Politik mengikuti kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) yang pertama. NU berhasil meraih posisi 3 besar dalam Pemilu DPR dan Konstituante RI. Dalam Pemilu 1955, Kiai Ali Manshur ikut terpilih sebagai Anggota Konstituante dari Partai NU Daerah Pemilihan (Dapil) XV yang meliputi Bali dan Nusa Tenggara. Saat itu, Kiai Ali berdomisili di Kampung Arab, Singaraja, Bali dan mengabdi sebagai pejabat di Kantor Agama setempat. Setelah dilantik, ia mendapat nomor anggota 127. (Komunitas Pegon, 2021)


Badan Konstituante sendiri memiliki tugas untuk menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) secara demokratis dan selaras dengan keinginan rakyat (Saifuddin Zuhri, 2013: 562). Sedianya, UUD yang berlaku pada masa itu (UUDS 1950) akan diganti dengan UUD hasil Konstituante. Namun, akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit, yang berisi pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan pembubaran Badan Konstituante. Mengenai Badan Konstituante ini akan penulis kemukakan di artikel lain.


Sang Juru Bicara

Dari data susunan Pengurus Fraksi NU dalam Konstituante periode tahun 1958-1960, penulis menemukan nama RM Ali Manshur, tercatat mengemban amanah sebagai Wakil Ketua II. Selain itu, bersama KH M Syukri ia juga ditunjuk menjadi juru bicara Fraksi NU (Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid VI, 1958: 3221-3222).


Sebagai juru bicara fraksi, maka Kiai Ali mestilah pandai berpidato dan mengemukakan argumen. Meskipun, sejatinya yang ia katakan adalah juga hasil dari musyawarah dengan anggota-anggota lain dari Fraksi NU. Diperlukan pula pandangan dan wawasan yang luas, sebab yang dibicarakan dalam sidang Konstituante ini adalah menyangkut banyak persoalan. Seperti ketika ia mengemukakan pendapat Fraksi NU pada pembahasan mengenai Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Warga Negara.


"Saudara Ketua tadi di dalam pembukaannja, sudah menggambarkan betapa keadaan ini nanti akan berdjalan dan dikatakan bahwa, soal ini adalah soal berat, tetapi sebenarnja kita sebagai manusia, jang akan membahas lapangannja sendiri, jang akan memperoleh hak serta kewadjibannja sendiri, menganggap bahwa hal ini tidak dapat akan diperberat. Dan oleh karena itu Saudara-saudara sekalian, Fraksi Nahdlatul Ulama tidak usah menunggu sampai nanti di dalam memilih nama Bab itu, melainkan sekarang ini." (Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid VI, 1958: 3150)


Ketika berpidato, Kiai Ali juga kerap menyitir perkataan para ulama atau filsuf. Seperti yang penulis temukan dalam sebuah sesi rapat Konstitusi di tahun 1958. Pada kesempatan tersebut, ia mengungkapkan keterbatasan Konstituante, yang di satu sisi diharapkan untuk segera menghasilkan Undang-Undang Dasar (UUD) pengganti UUD Sementara (UUDS). Sementara di sisi lain, waktu yang diberikan untuk melakukan persidangan dirasa cukup singkat.


Ia berpendapat, idealnya setelah berlakunya UUDS di tahun 1950, sesegera mungkin dapat dibentuk Konstituante. Namun, karena kondisi yang ada saat itu, Pemilu baru terlaksana lima tahun setelahnya. Sidang Konstituante sendiri baru dimulai, setelah mereka dilantik pada 10 November 1956.


"Saudara Ketua jang terhormat, masa dua tahun itu kalau dihubungkan dengan harapan rakjat dan kita para Anggota adalah tidak begitu lama sebab kita sekalian mengharapkan bahkan menentukan bahwa Konstitusi baru tjiptaan Konstituante sekarang ini, tidak untuk generasi sekarang ini sadja tetapi untuk generasi jang akan datang untuk anak-tjutju kita untuk berabad-abad tahun lamanja...


"Saudara Ketua jang terhormat, dengan adanja antjer-antjer waktu itu, sebenarnja Konstituante sekarang ini telah dapat digambarkan masa berachirnja, jaitu pada tahun 1960. Konstitusi baru jang mendjamin kepentingan umum itu harus lahir. Atas hal ini saudara Ketua, kami dari Fraksi Nahdlatul Ulama memandjatkan untuk doa mudah-mudahan dapat berhasil. Amien...


Akan tetapi, dalam pada itu orang tidak boleh lupa pula pada kata chukama' : Annaasu kama qaalal failasuuf laa jas'aluuna sur'atal amal wa innama jas'aluuna tadjwidahu (Manusia itu tidak hanja minta tjepatnja hasil perbuatan, melainkan minta kebagusan dan keindahan hasilnja amal perbuatan)." (Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid V, 1958: 2399-2400)


Pencipta Shalawat Badar

Rekan Kiai Ali di Konstituante, KH Saifuddin Zuhri menuliskan pada tahun 1960-an, di masa Demokrasi Terpimpin, antara satu parpol dengan yang lain kerap kali berkonfrontasi dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Semisal saat PKI mempopulerkan nyanyian genjer-genjer, ulama NU menciptakan shalawat badar.


"Shalawat untuk memuji-muji Rasulullah dan para sahabat yang menyertai Nabi Besar Saw dalam perang Badar," (Saifuddin, 2013: 648)


Shalawat badar berisi syair-syair yang diawali dengan bait : Shalatullah salamullah, ala Thaha Rasulillah, Shalatullah salamullah, ala Yasin Habibibillah (Rahmat dan keselamatan dari Allah, semoga tercurah kepada Thaha sang utusan Allah. Rahmat dan keselamatan dari Allah, semoga tercurah kepada Yasin sang kekasih Allah.) Thaha dan Yasin ini merupakan nama lain untuk Nabi Muhammad Saw.


Rupanya, shalawat badar nan legendaris ini diciptakan oleh KH Ali Manshur. Shalawat badar ini tercipta saat Kiai Ali Manshur tinggal di Banyuwangi. Di sana ia pernah menjadi Kepala KUA Banyuwangi dan Ketua PCNU Banyuwangi (1962-1965).


Salah satu putra KH Ali Manshur, Kiai Ahmad Syakir menuturkan, ayahnya memiliki banyak peninggalan berupa catatan, baik di buku harian, kertas kosong, maupun pinggiran kitab. Di antara dari catatan tersebut, terdapat catatan beraksara pegon, yang menerangkan terkait shalawat badar.


"Nalika kula gawe lagune Shalawat Badar, yaiku sak ba'dane teka sangka Makkah al-Mukarramah, kang tak anyari waktu lailatul qira'ah kelawan ngundang almarhum Haji Ahmad Qusyairi sak muride. Yaiku ana malem jum'at tahun 1960, tanggaku padha ngimpi weruh ana bangsa sayyid utawa habib padha mlebu ana omahku. Wa karimati, Khotimah, uga ngimpi ketok kanjeng Nabi Muhammad iku rangkul-rangkulan karo al-faqir. Kira-kira dina Jum'at ba'da shubuh, tangga-tangga padha ndodok lawang pawon, padha takon: 'Wonten tamu sinten mawon kala ndalu?'. Lajeng kula tanglet Habib Hadi al-Haddar, dan dijawab: 'Haa ulaai arwaahu ahlil badri rodhiyallahu 'anhum'. Alhamdulillahi Robbil 'aalamiin". (Syarif Abdurrahman, 2019)


Meski demikian, seiring perkembangan zaman, popularitas shalawat ini sempat timbul tenggelam. Kiai Ahmad Syakir menceritakan, pada tahun 1998 ia bertemu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan menanyakan perihal keaslian shalawat badar, apakah shalawat itu asli karya ayahnya. Gus Dur menjawab, "Karya ini, jelas karya (kiai) Jawa," (Mundzir dan Nurcholis, 2014: 428)


Setelah pertemuan itu, barulah manuskrip-manuskrip tentang shalawat badar dikumpulkan. Ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, shalawat badar diumumkan di depan umum pada Muktamar NU di Lirboyo. Sejak saat itu dan sampai sekarang, shalawat terus menggema di mana-mana, bahkan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Termasuk, makam Kiai Ali di Tuban, mulai banyak dikunjungi peziarah.


KH Ali Manshur wafat pada 24 Maret 1971 di usia 50 tahun dan dimakamkan di Maibit Rengel Tuban. Semasa hidupnya, Kiai Ali Manhsur menikah dengan Nyai Siti Chotimah. Keduanya dikaruniai putra-putri, yakni Sholahudin, Ahmad Syakir, Abdullah Nashi, Muhammad Shiddiq, Siti Latifah, Badrul Jamal, dan Syaiful Islam.


Ajie Najmuddin, penulis buku Menuju Satu Abad NU


Referensi:

Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid VI (Konstituante RI, 1958)
Risalah Perundingan Konstituante RI Jilid V (Konstituante RI, 1958)
KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013)
Ahmad Mundzir dan Nurcholis, Perjalanan NU Tuban dari Masa ke Masa 1935-2013 (PCNU Tuban, 2014)
KH Ali Manshur dan Konstituante (Komunitas Pegon, 2021)
Profil Anggota Raden Muchamad (R.M) Ali Mansur (Konstituante.net, diakses 15 Agustus 2024)