Tokoh

KH Bisri Syansuri (1): Nasab dan Sanad Keilmuan

Jumat, 23 Agustus 2024 | 09:00 WIB

KH Bisri Syansuri (1): Nasab dan Sanad Keilmuan

KH Bisri Syansuri, Rais Aam PBNU 1971-1980 (Foto: Dok. keluarga)

Di kalangan kiai pesantren, lumrah mencantumkan nama ayah di belakang nama seseorang. Ketika ditulis nama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Romli Tamim, Kiai Abdurrahman Wahid, maka maknanya adalah masing-masing merupakan putra dari Kiai Asy’ari, Kiai Hasbullah, Kiai Wahid. Demikian juga ketika disebut nama Kiai Bisri Syansuri, maka artinya ayah beliau adalah Kiai Syansuri. 


Beragam cara orang menuliskan nama Kiai Bisri Syansuri. Ada yang menuliskan Bishri, Bisri, Bisyri dan ada yang menuliskan Syansuri, Syamsuri, Syansyuri, Sansuri. Berdasarkan banyak dokumen resmi, dan sesuai dengan cara penulisan Kiai Bisri sendiri dalam dokumen dan buku koleksi beliau pribadi, maka kemudian yang dibakukan adalah nama Bisri Syansuri. Kiai Sahal Mahfudz, Rais ‘Aam PBNU pada 1999-2014 dalam salah satu suratnya kepada Kiai Bisri Syansuri, menuliskan nama Arab Kiai Bisri Syansuri, dengan الشيخ بصري شنسوري


Latar Belakang Keluarga

Keluarga leluhur Kiai Bisri Syansuri adalah keluarga yang terpandang dan terhormat. Dalam catatan Gus Dur, leluhur Kiai Bisri menurunkan beberapa ulama besar dalam berbagai generasi, seperti KH Kholil Lasem dan KH Baidlowi Lasem. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika dari tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan keagamaan semacam itu tumbuh seorang yang kemudian hari akan menjadi sosok ulama terkemuka.


Bisri lahir dengan nama Muhammad Mustajab, dari pasangan suami istri Syansuri Abdus Shomad dan Siti Rohmah (Mariah) pada bulan Dzulhijjah 1304 Hijriah, di desa Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzulhijjah 1304 Hijriah, yang bertepatan dengan 18 September 1887. Sebagaimana termaktub dalam silsilah Bani Abd. Shomad, Mustajab kelak dikenal dengan nama Bisri. Nama itu ia peroleh setelah pulang dari Mekkah dan kemudian ditambahi nama ayahnya. Lengkaplah menjadi Bisri Syansuri.


Referensi yang menyebutkan bahwa Kiai Bisri Syansuri lahir pada 28 Dzulhijjah antara lain KH Abdurrahman Wahid dalam buku Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat yang terbit pada 1989, KH Abdul Aziz Masyhuri dalam dua tulisan yaitu Risalah Akhir Sanah Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif dalam artikel berjudul In Memoriam KH M Bisri Syansuri Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif dan Pendiri NU yang Terakhir Wafatnya, yang terbit pada 27 Juni 1980, juga buku Al-Maghfurlah KH M Bishri Syansuri Cita-Cita dan Pengabdiannya yang terbit pada Januari 1983 dalam rangka 1000 hari wafatnya Kiai Bisri Syansuri, serta diikuti buku-buku dan sumber lain, misalnya Abu Syam Haryono dalam buku Pendidikan Nahdlatul Ulama untuk Mengenal dan Menghayati Perjuangan. Referensi yang menyebutkan bahwa Kiai Bisri lahir pada 18 September 1887 adalah Buku Induk Anggota Konstituante Hasil Pemilu 1955, dan buku Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang memuat profil para anggota DPR hasil Pemilu 1971.


Sementara itu dalam versi lain, Kiai Bisri Syansuri lahir pada 05 Dzulhijjah 1304 H, atau 25 Agustus 1887. Hal ini sesuai dengan dokumen yang ditandatangani pada 27 Desember 1942 dalam buku Pendaftaran Orang Indonesia yang Terkemuka yang Ada di Jawa yang dikeluarkan Pemerintah Jepang.


Demikianlah wajar ada dua versi tanggal bulan lahir, sebagaimana juga terjadi versi yang berbeda para tokoh zaman dahulu, misalnya KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdul Wahid Hasyim, Bung Karno, bahkan Gus Dur.


Syansuri dan Siti Rohmah dianugerahi lima (5) putra. Anak pertama dari dua pasangan suami istri ini adalah seorang lelaki bernama Mas’ud. Kedua adalah seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Mustajab, yang kemudian dikenal sebagai Bisri Syansuri adalah anak ketiga, dan setelah itu menyusul Muhdi dan Syafa’atun. Nama Mustajab ini kadang masih digunakannya ketika memberi identitas kitab-kitab koleksinya pada masa belajar. Yang jelas, nama Bisri adalah nama yang digunakan setelah naik haji.


KH Bisri Syansuri menikah dengan Nyai Hj. Nur Khodijah pada 1914, dan pada tahun yang sama, kedua suami isteri baru itu kembali ke tanah air. Dari pernikahan tersebut KH Bisri Syansuri mendapatkan enam keturunan, putra pertama yaitu Ahmad Athoillah, Muasshomah, Sholihah, Musyarofah, Muhammad Ali Ashab (Ali Abdul Aziz), dan Muhammad Shohib.


Para Guru Kiai Bisri

Sejak kecil, Bisri belajar dari berbagai para ulama yang menguasai beragam bidang keilmuan. Salah satu guru semasa kecilnya di samping ayahnya sendiri adalah Kiai Sholeh Tayu, mulai usia tujuh tahun hingga Sembilan tahun dalam membaca Al-Qur’an dan tajwidnya. Selanjutnya beliau belajar kepada salah seorang ulama yang masih kerabat dekatnya, sosok kiai yang membuka pesantren di Kajen yang kepribadiannya sangat memengaruhi Bisri, yaitu Kiai Abdus Salam, ulama ahli Al-Qur’an dan fikih yang membimbingnya belajar ilmu nahwu-sharaf, fikih, tasawuf, tafsir, dan hadis. 


Ketika menginjak usia 15 tahun, Bisri mulai belajar kepada para ulama terkemuka dari luar daerahnya, di antaranya KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem, kemudian berlanjut berguru kepada ulama terkenal Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan, hingga akhirnya dalam masa pendidikan itu ia berkawan karib dengan seorang pemuda yang cerdas dan cekatan, Abdul Wahab Hasbullah dari Tambakberas Jombang. Berikutnya Kiai Bisri meneruskan pendidikan agama terutama Nahwu Sharaf kepada Kiai Umar di Sarang Rembang selama kurang lebih satu tahun.


Pada tahun 1906 Bisri bersama Wahab belajar di Pesantren Tebuireng, asuhan KH Hasyim Asy’ari, sosok ulama terkemuka Jawa, terutama dalam penguasaannya dalam ilmu hadits. Di Tebuireng, selama enam tahun pemuda Bisri memperdalam ilmu pengetahuan agamanya tentang fikih, tauhid, hadis, sejarah, dan lain-lain. 


Di Pesantren Tebuireng, pemuda Bisri juga belajar bersama sejumlah pemuda pilihan yang di kemudian hari mengharumkan nama guru mereka, seperti pemuda Abdul Manaf dari Kediri, As'ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu (Gresik), Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma'sum Ali dari pesantren Maskumambang di Sedayu (yang pernah terkenal sebagai pesantren paling utama sebelum masa itu), dan seterusnya.


Dalam catatan Gus Dur, mereka yang kemudian membentuk barisan peminat fiqih dan penganut hukum agama yang tangguh, menjadi kiai-kiai pesantren yang sekarang ini merupakan pusat-pusat pendalaman ilmu-ilmu agama di pulau Jawa.


Angkatan pemuda Bisri sebagaimana dikatakan oleh Almarhum Kiai Syukri Ghazali, adalah generasi paling baik dari mereka yang dididik Hadhratussyaekh Hasyim Asy'ari di Pesantren Tebuireng selama hampir setengah abad lamanya. Kiai Hasyim Asy’ari yang cukup luas jejaring koleganya cukup disegani para santri saat itu. Dia merangkai jejaring ulama dari guru-gurunya untuk kemudian dikoneksikan dengan ulama-ulama di Nusantara. Dia berhasil membangun komunitas ulama dan menjadi salah seorang ulama berkedudukan tinggi dalam jejaring ulama Jawa pada masa itu, yang membuatnya tampil sebagai seorang ulama senior yang memimpin ulama lain di Jawa.


Selama enam tahun di pesantren Tebuireng itu, pemuda Bisri memperoleh ijazah (perkenan lisan) dari gurunya. Ia telah diberi kewenangan untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama. Seperti teks fiqih Al-Zubad yang kemudian menjadi kegemarannya, hingga ke corpus magnus hadits yang menjadi spesialisasi Kiai Hasyim Asy'ari, Sahih al-Bukhari dan Muslim.


Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng, pada tahun 1911/1912 ia berangkat melanjutkan pendidikan di Mekah atas ajakan sahabat karibnya, Abdul Wahab Hasbullah. 


Bisri Syansuri menuntut ilmu di kota suci Mekkah selama tiga hingga empat tahun. Beberapa gurunya di kota suci ini adalah Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Sholeh Bafadhol, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Umar Bajened, Syekh Jamal Al-Maliki, Syekkh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistany, dan Syekh Mahfudz Tremas. Tiga ulama yang disebut terakhir adalah juga guru dari KH Hasyim Asy’ari.


Kiai Wahab dan Kiai Bisri menurut Hadratussyekh

Kiai Bisri Syansuri (w. 1980), Kiai Wahab Hasbullah (w. 1971), dan Kiai Abdul Mu'ti adalah di antara murid Hadratussyekh Hasyim Asy'ari (w. 1947) di Pesantren Tebuireng. 


Hadratussyekh menjalin hubungan akrab dengan para muridnya, termasuk dengan Bisri Syansuri. Di antara tanda keakraban itu adalah sang guru senantiasa mempertanyakan secara terperinci berita-berita yang didengarnya tentang diri sang murid.


Di antara yang ditanyakan adalah ketika Kiai Bisri dan Kiai Wahab banyak terlibat kegiatan keagamaan yang berupa perdebatan dengan Abdul Mu'ti dari Muhammadiyah, sebagaimana dituturkan Gus Dur dalam buku "Kiai Bisri Syansuri". 


Ceritanya, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912, dan hal ini menarik perhatian pemuda Abdul Mu'ti, yang mengantarnya memilih masuk dan aktif di Muhammadiyah. Sementara pemuda Bisri dan Wahab ketika Nahdlatul Ulama berdiri pada 1926 memilih masuk dan bahkan mendirikannya, sebagai bentuk sokongan penuh kepada guru tercinta, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari.


Pada tahun belasan itu, menjelang tahun 1920, terjadi dialog dan perdebatan antara Abdul Mu'ti Kudus yang sudah masuk di Muhammadiyah dengan Kiai Bisri dan Kiai Wahab.


Satu sisi bahwa ketiganya merupakan teman semasa di Tebuireng, sementara pada sisi lainnya, Abdul Mu'ti sosok pemuda kelahiran Jombang yang tidak mengikuti jejak belajar ke Mekah sebagaimana dilakukan kedua kawannya tersebut, memilih organisasi yang kritis atas banyak tradisi yang dijalankan muslim tradisional, antara lain dan terutama kemudian menjadi organisasi Nahdlatul Ulama.


"....mereka bertiga senantiasa memperdebatkan masalah-masalah yang diperselisihkan waktu itu, seperti masalah tahlil dan sebagainya. Tetapi 'dialog' itu juga merupakan forum pematangan bersama," tulis Gus Dur.


Di Manakah lokasi perdebatan keagamaan ini? Gus Dur mencatat bahwa kegiatan ilmiah ini dilakukan secara bergantian, di Pesantren Denanyar yang didirikan Kiai Bisri dan di pusat kegiatan Muhammadiyah di Jombang. Yang unik, Kiai Bisri juga mengundang Abdul Mu'ti untuk turut mengisi acara keagamaan di Pesantren Denanyar.


Khawatir akan menimbulkan gelombang kritik dari sesama Kiai, akhirnya Hadratussyeikh memanggil kedua murid tercintanya ini untuk datang ke Tebuireng, dengan diberikan peringatan keras, tapi bukan dengan larangan mutlak.


Walau telah mendapatkan teguran dari sang guru tercinta, kedua murid ini masih terus bergaul dengan Abdul Mu'ti hingga kepindahan Abdul Mu'ti ke Kudus pada permulaan tahun dua puluhan. Gus Dur menyebut perdebatan atas dasar saling menghormati ini sebagai titik awal sikap Kiai Bisri yang disebut sebagai "sudah mulai mengembangkan pola mengambil pendapat sendiri".


Guru dan murid bisa berbeda pendapat, sebagaimana sesama teman bisa berbeda pendapat. Keterbukaan dan kematangan sikap para pendiri Nahdlatul Ulama ini perlu kita teladani sebagai obor spirit.


Dalam buku "Guruku Orang-Orang dari Pesantren", KH Saifuddin Zuhri menulis:


"Di Jombang, di bawah pimpinan Hadratus Syaikh dan KH A Wahab Hasbullah diselenggarakan Riyadhah Rohani di kalangan para ulama. Kecuali meningkatkan semangat pembelaan tanah air, juga mengamalkan beberapa wirid, Hizbur Rifa'i, Hizbul Bahr, Hizbun Nawawi, dan lain-lain doa dipompakan dalam Riyadhah yang berbentuk latihan rohani itu."


"Menurut cerita KH A. Wahid Hasyim, putranya, jika pada satu saat Hadratussyekh menghadapi masalah yang cukup berat sehingga tak bisa diatasi sendiri, maka orang pertama yang dimintai pendapatnya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri, dua ulama besar yang masing-masing memimpin Pesantren Tambakberas dan Denanyar, tidak jauh dari Jombang. Tiga tokoh ulama besar ini merupakan tri tunggal yang masing-masing mempunyai ma'iyah atau nilai kelebihan, tetapi saling memerlukan antara yang satu kepada lainnya."


Kiai Bisri tentang Thariqah

KH Bisri Syansuri dalam Sambutan Kongres IV Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabaroh pada Oktober 1968 di Semarang tentang thariqah antara lain menyatakan, 


“Jangan sampai lupa kepada tujuan thariqah karena ingin dianggap keramat dan dianggap wali oleh masyarakat. Dan kalau masih ada guru-guru yang semacam itu, maka perlu secepatnya ditertibkan dan diatasi dengan secepat-cepatnya, agar tujuan dari Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabaroh ini dapat terlaksana.”


Sanad Keilmuan KH Bisri Syansuri melalui Hadratussyekh Hasyim Asy'ari

Kiai Bisri Syansuri berguru kepada banyak ulama, dan di antaranya adalah kepada KH Hasyim Asy'ari. Kiai Hasyim berguru kepada Syekh Mahfudz at-Tarmasi, dan seterusnya sebagai pola guru dan murid. 
1. Syekh Mahfudz at-Tarmasi (w. 1920 M). 
2. Sayyid Abu Bakr Syatha (w. 1892 M) 
3. Sayyid Zaini Dahlan (w. 1886 M) 
4. Syekh Utsman Hasan ad Dimyathi 
5. Syekh as Sanawani (w. 1818 M) 
6. Syekh Isa bin Ahmad al Barawy (w. 1768 M) 
7. Syekh Syamsuddin ad Dafary 
8. Syekh Salim bin Abdillah (w. 1747 M) 
9. Syekh Abdullah bin Salim (w. 1722 M) 
10. Syekh Syamsudin al Babily (w. 1666 M) 
11. Syekh Ahmad al Ghunaimy (w. 1634 M) 
12. Syekh Syamsudin ar Ramly (w. 1596 M) 
13. Syekh Zakaria al Anshory (w. 1520 M) 
14. Syekh Taqiyuddin (w. 1466 M) 
15. Syekh Majduddin (w. 1415 M) 
16. Syekh al Qazwiny (w. 1349 M) 
17. Syekh at Taftazany
18. Syekh al Harawy
19. Syekh Fakhruddin ar Razy (w. 1210 M) 
20. Syekh Diyauddin ar Razy (w. 1164 M) 
21. Syekh Abul Qasim al Anshory (w. 1118 M) 
22. Imam al Haramyn al Juwainy (w. 1085 M) 
23. Syekh Abul Qasim al Asfarayni (w. 1034 M) 
24. Syekh Ruknuddin Abu Ishaq al Asfarayni (w. 1027 M). 
25. Syekh Abul Hasan al Bahily
26. Raisu Ahlissunnah wal Jama'ah, Al Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (w. 947 M).